Oleh : Deni Djohan S.Sos
Penulis Adalah Seorang Jurnalis
Pemilu maupun Pillkada merupakan sarana bagi negara penganut sitem demokrasi dalam mencari pemimpin. Indonesia adalah satu dari ratusan negara yang menganut sistem demokrasi tersebut.
Dalam catatan sejarah, Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu. Pelaksanaannya pun dilakukan secara berbeda yakni secara langsung dan tidak langsung. Sejarah mencatat Pemilu dimulai para tanggal 29 September 1955.
Pada tahun itu, pesta demokrasi tersebut dilaksanakan dua kali yakni, 29 september dan 15 desember 1955. Kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1971, 1977, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019.
Ditanggal 29 September 1955, pelaksanan Pemilu bertujuan memilih anggota-anggota DPR. Sedang pada 15 Desember 1955 memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Saat itu, Pemilu menggunakan sistem proposional atau sistem berimbang yang berdasar pada Undang-undang Nomor: 7 tahun 1953.
Seiring perkembangannya, Negara terus melakukan pembenahan dengan tujuan menciptakan sistem demokrasi lebih baik. Tentu semua upaya itu tak terlepas pada revisi atau perubahan Undang-undang Pemilihan Umum.
Pada era reformasi ini, sistem kepemiluan kita mengacu pada Undang-undang Nomor: 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebanyak 573 Pasal tercatat pada Uu ini, termasuk jaminan hak kepada pemilih pemula.
Dalam ketentuannya, yang dimaksud pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
Pilih pemula kini menjadi target para politisi dalam mendulang suara. Tak hanya pada tingkat lokal saja, kecenderungan menarik perhatian pemilih pemula juga dilakukan para politisi tingkat Nasional.
Cara untuk menarik perhatian para pemilih milenial ini juga unik karena disesuaikan dengan tren kekinian. Misalnya mengisi konten kreatif diaplikasi media sosial seperti, Tiktok, Instagram, whatsapp, Youtube dan Facebook.
Sebut saja presiden’ RI, Joko Widodo yang ngetiktok pada acara kenegaraan jelang pemilu 2019 lalu. Bahkan mengundang Youtubers muda yang terkenal tajir di Istana, Ata Halilintar. Semua dilakukan untuk menarik perhatian publik tak terkecuali para kaum milenial.
Secara psikologis, Pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang-orang tua pada umumnya. Pemilih pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya.
Karateristik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya karena integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record atau program kerja yang ditawarkan.
Meski cenderung kritis, mandiri dan independen, pemilih pemula masih tergolong labil karena minimnya pengetahuan mereka berbagai hal terkait pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, bagaimana tata cara menggunakan hak pilih dalam pemilu dan sebagainya. Pertanyaan itu penting diajukan agar Pemilih Pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Selain itu, masalah paling krusial berkaitan dengan minimnya partisipasi pemilih pemula dalam pemilu. Berdasarkan hasil survei organisasi partisipasi pemilu, Jeune & Raccord (J&R), potensi golput atau tidak memilih di kalangan milenial pada pemilu presiden 2019 mencapai lebih dari 40 persen. Survei itu melibatkan 1.200 responden di seluruh provinsi Indonesia pada 10-16 Maret 2019 dengan margin of error kurang lebih 2,8 persen.
Hal ini yang kemudian menjadi tantangan serta tanggungjawab semua pihak dalam menciptakan sistem demokrasi di Indonesia yang sehat. Dimana salah satu syaratnya yaitu partisipasi aktif dari warga Negara termasuk para pemilih pemula.
Caranya, mensosialisasikan kepada pemilih pemula agar mengambil andil dalam pesta demokrasi ini. Menyampaikan segala informasi pemilu baik itu secara langsung atau melalui konten kreatif di media sosial.***