*Perompak Labolontio Hanya Mitos
Sejarah panjang Kerajaan Buton mencatat Murhum sebagai raja terakhir sekaligus sultan pertama. Masa pemerintahan Murhum menjadi awal peradaban Islam di negeri Butuni. Ditandai perubahan sistem pemerintah dari kerajaan jadi kesultanan. Konon dikisahkan bahwa Murhum diangkat jadi raja setelah berhasil menumpas seorang perompak bernama Labolontio.
Catatan : Gunardih Eshaya
Murhum menjadi raja terakhir sekaligus Sultan pertama, puncak dari cerita ini berasal dari raja ke-3 yaitu Pacapatola. Mempunyai dua orang istri, istri pertama melahirkan 3 orang anak. Anak pertama di
kenal dengan raja Manguntu, kedua raja Tuamaruju, ketiga raja Tuarate. Sementara anak ke-4 datang dari istri kedua yaitu ki julang
Dimasa kepemimpinan raja Pacapatola, membagi seluruh kewenangannya. Pertama kepada anaknya yang paling tua dijadikan sebagai Bonto ogena, kemudian anaknya yang kedua menjadi bontona Matanaeo dan sukanaeo, sedangkan anak ketiganya diangkat menjadi raja Tuarade. Hanya anak ke-4 yang tidak mendapat jabatan, yaitu Ki Julang, yang kemudian mengasingkan diri ke daerah lain, bersiap diri disana dan melakukan pertapaan-pertapaan.
Ki Julang inilah yang membantah keras jika Muna itu bukan orang Buton. Dikisahkan, pasca berakhirnya masa kejayaan Pacapatola sebagai raja ketiga, dia lalu membagi seluruh kewenangannya pada tiga putranya, Raja Manguntu dan Tua Marudju menjadi bonto sementara anak ketiga yakni Tua Rade diangkat menjadi raja. Dilain pihak, Ki Julang yang merupakan putra semata wayang raja dari istri kedua, sama sekali tidak mendapat jabatan. Hal itu yang membuat Khy Jula pergi menepikan dirinya didaerah utara.
Berdasarkan referensi yang diperoleh dalam pelariannya, Ki Jula juga melakukan petapaan-petapaan yang cukup serius karena merasa tersisih tidak mendapat jabatan dari orang tuanya. “Ki Jula adalah cikal bakal lahirnya Murhum. Hal itu sekaligus membantah keras kalau selama ini ada asumsi bahwa Muna bukan bagian dari kerajaan Buton,” tegas Umar Samiun.
Perjalanan panjang kerajaan Buton juga mencatat sejarah bahwa anak dari Tua Manguntu yakni Raja Mulae, sempat memimpin sistem pemerintahan di Kerajaan Buton sebagai raja kelima menggantikan
pamannya Tua Rade. Dimasa kepemimpinan terbesik dalam pikirannya hampir diseluruh keluarganya sudah menduduki jabatan dilembagakerajaan, kecuali pamannya Ki Jula.
Sang raja kemudian merekayasa suatu cerita, seakan-akan kerajaan Buton akan diserang oleh seorang perompak yang namanya Labolontio. Ada anggapan bahwa cerita Labolontio hanyalah sebuah mitos. Hal itu bukan tidak berdasar, karena dalam cerita datangnya bajak laut yang bernama Labolontio, kondisi Kerajaan Buton sudah mengalami masa kejayaan yang tinggi.
Bahkan wilayah kekuasaan Buton sampai di kepulauan besi (Wakatobi), juga telah menaklukan Ternate. Sehingga bagaimana mungkin seorang perompak yang bernama Labolontio bisa membuat panik kerajaan Buton. “Kerajaan Buton yang begitu besar sungguh tidak masuk akal jika takut dengan satu orang bajak laut yang bernama Labolontio,” tuturnya.
Dibalik mitos itu, kemudian Raja mengadakan sayembara dengan hadia siapapun yang membunuh Labolontio, akan diangkat menjadi Raja. Namun sebenarnya dibalik sayembara itu, ada maksud yang tak lain untuk mengakomodir cucu dari Ki Jula yang dikenal dengan nama Sultan Murhum.
“Jadi berbagai cerita yang menyebutkan bahwa Murhum membunuh Labolontio dengan cerita memotong kemaluannya, bisa jadi hanya sebuah mitos. Yang pasti Murhum orang dalam kerajaan yang tinggal lama dalam kawasan istana,” tukasnya.
Dalam referensi yang diperoleh tertulis bahwa Sultan Murhum atau Lakilaponto adalah putra Lakina Wuna (Sugi Manuru) buah perkawinannya dengan “Wa Tupabala” Putri Lakina (Adipati) Tiworo Ki Jula. Sugi Manuru adalah putra Sugi Patani yang merupakan putra Sugi Patola sedangkan Sugi Patola adalah putra Banca Patola Lakina Wuna I. Dalam hubungan itu, Ki Jula adalah putra Bataraguru Raja Buton III, buah perkawinannya dengan seorang putri dari Kalaotoa.
Bataraguru dikenal dengan nama Banca Patola adalah pejabat Lakina Wuna I sebelum menjadi Raja Buton, dia adalah putra Ratu Buton II Bulawambona. Sedangkan Bulawambona tidak lain adalah putri Raja Buton pertama Wakaka, buah perkawinannya dengan seorang pangeran putra Raja Manyuba/Jayanegara, Raja Kerajaan Majapahit yang bernama Sri Batara yang dikenal dalam dialek Wolio Si Batara.
Dengan demikian, maka menurut silsilah kekerabatannya, Murhum dari pihak kakeknya (Bataraguru) memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Luwu Bataralattu. Sebab kakek Murhum adalah putra La Baalawu dari perkawinannya dengan Bulawambona Raja Buton II, dimana La Baaluwu tidak lain adalah putra Bataralattu yang mempunyai dua orang putra dan satu orang putri yaitu Sawerigading, La Baaluwu dan Watenriabeng.
Berdasarkan silsilah itu maka raja-raja Buton dan Muna ada perkaitan kekerabatan yang erat dengan raja Luwu dan kerajaan Majapahit, sebab permaisuri raja Luwu Bataralattu yang bernama “Putri Lasem” saudara kandung Sri Batara (Si Batara) suami Wakaka berasal dari kerajaan Majapahit.
Selain Sultan Murhum, peradaban Kesultanan Buton juga menunjukan kebesarannya dimasa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Ditangan Sultan Dayanu Ikhsanuddin inilah lahir penggagas yang mencetuskan kitap Murtabat Tujuh (Undang-undang Kesultanan Buton) yang menjadi fondasi untuk mengatur tata kehidupan dan adat istiadat masyarakat secara menyeluruh, sama halnya Undang-undang Dasar.
Menurut Umar Samiun jumlah pasal dalam Murtabat Tujuh yang berjumlah antara 66 sampai 68, dibuat dengan 3 pendekatan, Yakni pendekatan Salambi (Top Down), pendekatan Pasarabi (Disepakati dari bawah lalu naik keatas), terakhir pendekatan Dalango.
Dalam pemerintahan Buton, ada yang namanya Saraoge dan Sarakidi. Saat itu pula Buton telah memiliki tiga partai politik, yakni partai tanailondo, partai tapi-tapi, dan partai Kumbewaha. Lalu kemudian dibentuk lagi suatu kelembagaan yang di isi oleh kaum Walaka dan dipimpi langsung oleh Bonto Ogena dengan 9 orang anggotanya (Legislatif).
Jadi trias politik yang membagi seluruh tugas dan kewenangan sejak dulu telah berlangsung di Kerajaan Buton. Salah satu tugas Bonto ogena adalah menjaga Saraoge dan Sarakidi. Sementara 9 orang dibawah Bonto Ogena diberi fungsi legislasi yaitu membuat undang-undang, mengangkat dan memberhentikan Sultan, dan menjaga kerukunan tiga partai. (bersambung)