Jakarta, SATULIS.COM – Salah seorang warga binaan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin, Bandung, Tafsir Nurchamid mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-undang (UU) No.12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan dan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindunan Saksi dan Korban ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tafsir Nurchamid melalui kuasa hukumnya, Dian Farizka, S.H., M.H., CPL., CPCLE., kepada SATULIS.COM mengatakan, gugatannya telah masuk dan teregister dengan nomor perkara 90/PUU-XVI/2018. Bahkan pada 3 Desember 2018, MK baru saja menggelar sidang dengan agenda Perbaikan Permohonan dalam Perkara tersebut.
Dalam gugatan uji materi itu, pihaknya meminta penafsiran kepada Mahkamah Konstitusi atas Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU tentang Pemasyarakatan dan Pasal 1 angka 2, dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Dian Farizka, pasal yang diuji saat ini pernah diajukan oleh OC Kaligis dkk serta Kamaludin Harahap, tetapi kandas di tengah jalan karena di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.
“Klien kami ini adalah mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia yang sekarang ini di vonis 5 tahun penjara atas putusan Kasasi di Mahkamah Agung. Jadi dalam permohonan yang kami ajukan adalah muatan pasalnya sama tetapi untuk batu ujinya berbeda sebagaimana diatur 60 UU MK,” ujar Dian Farizka via handphonenya.
Dikatakan Dian Farizka, kliennya meminta haknya sebagai warga binaan untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat karena ingin diperlakukan sama dengan warga binaan lainnya yang mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
“Apa bedanya terpidana yang kasusnya ditangani oleh penyidik Polri, penyidik Kejaksaan dan penyidik KPK? Pasal dan ayat pada UU yang dijadikan dasar untuk menjeratkan sama, tetapi kenapa warga binaan dari Polri dan Kejaksaan dapat remisi serta pembebasan bersyarat? Sedang dari KPK tidak? Bisa dapat tetapi harus menjadi justice collaborator,” papar Dian Farizka.
Menurut Dian Farizka, justice collaborator hanya bisa digunakan kepada orang yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Tetapi tidak berlaku untuk perkara tunggal. Dia mencontohkan, seorang yang sedang berkendara motor, secara tiba-tiba diberhentikan oleh seorang polisi. Sialnya, pemotor tersebut tidak membawa SIM.
“Pengendara motor ini minta damai dan memberikan uang Rp 50 ribu kepada polisi. Tiba-tiba keduanya ditangkap KPK karena OTT. Berarti yang ditangkap hanya dua orang, si pengendara dan polisi. Apakah si pengendara dan polisi bisa mendapatkan justice collaborator?, tentunya tidak bisa karena tindak pidananya tunggal, bukan bersama-sama dengan yang lain. Kasihan si pengendara dan polisinya disuruh menjalani penjara sampai selesai, sedangkan yang miliaran dan merugikan negara mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat,” ujar Dian Farizka.
Olehnya itu, Dian Farizka berkeyakinan hakim MK akan mengabulkan permohonan kliennya untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum. (Adm)
Peliput/editor : Gunardih Eshaya