SATULIS.COM, BAUBAU – Komentar Korwil VIII Korpsugah (Koordinasi dan Supervisi Pencegahan) KPK-RI, Aldiansyah Malik Nasution, yang menyamakan persoalan aset Buton-Baubau dengan Muna-Muna Barat (Mubar) mendapat tanggapan keras dari elemen masyarakat Kabupaten Buton.
Masyarakat Anti Korupsi (MAK) melalui ketuanya, Yuliadin, kepada Suryakepton.com mengatakan jika Aldiansyah Malik Nasution alias Coki sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang pemekaran daerah. Coki kata Yuliadin, tidak bisa menyandingkan pemekaran Kabupaten Mubar dengan Kota Baubau.
Menurut Yuliadin, jika ingin membandingkan, kasus Buton-Baubau sama dengan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, Malang serta Cimahi. Semua wilayah itu merupakan daerah yang wilayah pemerintahannya berhimpit dan beririsan. Bahkan hingga saat ini beberapa instansi pemerintahan Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Bandung, masih berkantor di Kota bogor ataupun Kota Bandung.
Kota Baubau kata Yuliadin, menjadi daerah otonom melalui proses peningkatan status dari kota adminstratif (Kotif) menjadi Kota Madya pada tahun 2001. Olehnya itu terkait aset, seluruh aset yang menjadi hak Kota Baubau untuk diserahkan, adalah aset yang strukturnya langsung pada Kotif Baubau, semisal kantor Kelurahan, Kecamatan dan jalan-jalan.
“Jadi yang dimaksudkan aset kotif adalah aset yang pemerintahannya secara struktural dibawahi oleh walikotif Baubau, misalnya kantor Camat, kantor Kelurahan dan sarana-sarana kepentingan umum seperti jalan, terminal, pasar, stadion dan lainnya. Akan tetapi kantor dinas yang berada dalam wilayah Kotif mencakup Kecamatan Wolio dan Betoambari pada saat itu, adalah milik Kabupaten induk karena dinas-dinas tersebut, struktur pemerintahannya dibawah kendali kabupaten induk, bukan dibawah walikotif. Sebab jabatan walikotif, setara dengan jabatan kadis dan kepala badan. Sama-sama eselon II, itu yang perlu digaris bawahi,” tegas Yuliadin.
Meski begitu, Pemkab Buton sebagai daerah induk, telah rela dan memberikan beberapa asetnya secara cuma-cuma kepada Kota Baubau diluar aset kotif. Bahkan pada saat Baubau telah dinaik statusnya sebagai Kota Madya, Pemkab Buton dibawah kepemimpinan Bupati Saidu, masih rela memberikan sebagian wilayahnya guna mencukupi cakupan wilayah Kota Baubau.
“Saat itu regulasinya mengharuskan daerah yang ditingkatkan statusnya, harus memiliki minimal 4 Kecamatan. Sementara Kota Baubau hanya memiliki dua Kecamatan, yakni Wolio dan Betoambari. Pemerintah pusat langsung mewarning akan mengembalikan status Kota Baubau. Untuk menyelamatkan itu, Pemkab Buton rela memberikan Kecamatan Bungi dan Sorawolio,” jelas Yuliadin.
Lebih lanjut Yuliadin menjelaskan, jika ingin membandingkan, Coki tidak perlu jauh-jauh. Ada pemekaran Wakatobi, Bombana, Buteng dan Busel yang juga dilahir dari rahim Kabupaten Buton. Tidak ada masalah dalam penyerahan aset, karena seluruh aset yang masuk dalam wilayah ke empat daerah itu telah diserahkan.
“Andai kata Pemkab Buton salah menterjemahkan persoalan aset itu, maka akan menjadi temuan BPK. Buktinya, tidak ada temuan disitu dan BPK dalam laporan pengeloaan keuangan memberikan predikat WTP kepada Pemkab Buton. Di era Walikota Amirul Tamim, selalu ada temuan BPK dikarenakan aset yang telah diserahkan tidak tercatat dalam aset, hanya dikuasai secara fisik saja. Itu yang menjadi temuan, karena membangun diatas tanah yang tidak tercatat sebagai aset,” kata Yuliadin.
Menyangkut MoU yang dimaksud oleh Coki beber Yuliadin, pada prinsipnya MoU adalah kesepakatan yang dibuat antara kedua belah pihak, dalam hal ini Buton dan Baubau. Sehingga pasal-pasal yang termuat didalamnya, haruslah dirancang bersama.
“Tidak perlu melibatkan Kejaksaan, karena tidak ada persoalan disitu. Kenapa tidak melibatkan BPK yang sejak lama telah melakukan audit? Jadi MoU itu dibuat oleh orang-orang tertentu dan tidak melibatkan Pemkab Buton. Bupati Buton dan Ketua DPRD hanya dipanggil untuk teken MoU dengan tekanan dari Coki mengatasnamakan KPK. Jangan KPK seolah mensupervisi Pemda untuk melanggar aturan,” tegas Yuliadin.
Secara gamblang Yuliadin menjelaskan, persoalan aset Buton-Baubau telah tuntas diera kepemimpinan Bupati Umar Samiun dan Walikota Tamrin yang juga melibatkan Ketua DPRD dan Sekda Masing-masing daerah. Sebelum penyerahan oleh Umar Samiun kata Yuliadian, Walikota Tamrin ditawarkan apakah masih ada aset yang dibutuhkan, namun dijawab oleh Tamrin sudah cukup.
“Mana mungkin MoU mengalahkan pelepasan secara resmi yang dilakukan kedua belah pemerintah. Bakry dalam kapasitasnya sebagai bupati Buton tidak bisa membatalkan seorang diri. Penyerahan aset itu diserahkan atasnama kerjasama yang melibatkan dewan, dan tidak bisa dikatakan pemerintah daerah kalau hanya bupati saja,” papar Yuliadin.
Yuliadin juga mewarning La Bakry selaku bupati Buton untuk tidak lagi menyerahkan aset Pemkab Buton ke Kota Baubau tanpa melalui persetujuan DPRD. Jika hal itu dilakukan, maka pihaknya tidak segan-segan mendesak DPRD Buton untuk melakukan impeacment atas keteledorannya.
Yuliadin mengklaim, penyerahan aset tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Pemda Buton. “Penyerahan aset diatas Rp 5 miliar harus melalui persetujuan dewan, dan hal itu tidak dilakukan La Bakry. Ini dapat membuat pak Bakry sebagai bupati Buton di impeacment,” tutup Yuliadian. (Adm)