Oleh: Rahmat Thayib, penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban
Panas hati saya membaca kabar itu. Presiden Republik Indonesia ke-7, Ir. H. Joko Widodo dipermalukan di Australia. Tidak main-main, tindakan “brutal” ini dilakukan di parlemen Negeri Kanguru di Canberra. Pelakunya Ketua Partai Hijau Australia, Adam Bandt.
Jadi begini ceritanya. Presiden Jokowi dapat kesempatan berpidato di hadapan sidang parlemen Austalian yang terhormat. Lalu Brandt ambil jurus angkat-banting. Dia memuji pidato Jokowi soal perubahan iklim, tapi “sekarang tolong selesaikan sesuatu tentang Papua Barat,” pinta Brandt.
Papua Barat di sini bukan mengacu kepada provinsi Papua Barat. Tetapi Papua bagian Barat alias provinsi Papua dan provinsi Papua Barat. Dengan menggunakan istilah ini, Brandt memberi sinyal bahwa dia tidak mengakui otoritas Indonesia atas Papua bagian Barat. Kasarnya, saat ini Indonesia tengah melakukan penjajahan atas Papua bagian Barat,
Kembali pada tuntutan Brant. Setidaknya ada tiga hal yang digugat. Pertama, mendesak pemerintah agar mengizinkan Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) berkunjung ke Papua. Kedua, mencabut pembatasan akses bagi wartawan asing dan pemantau HAM di Papua. Ketiga, memerintahkan penyelidikan independen terhadap semua pelanggaran HAM yang terkait demonstrasi di Papua pada tahun lalu dengan tujuan membawa para pelaku pelanggaran tersebut ke pengadilan.
Puncak “penghinaan” Brandt adalah mengenakan pin berlambang bendera Bintang Kejora yang disematkan pada bagian kiri jas yang dikenakan. Bendera itu menjadi simbol gerakan Papua Merdeka.
Kemudian Brandt bersalaman dengan Jokowi dan diabadikan para jurnalis. Parahnya, adegan salaman itu benar-benar memalukan. Jokowi menunduk, seakan-akan tak berani menatap wajah Brandt.
Dengan demikian, terkonfirmasi bahwa semua desakan Brandt tadi merupakan bentuk dukungan terhadap gerakan kemerdekaan Papua.
Pandangan Brand juga diikuti senator dari Negara Bagian Victoria, Richard. Via surat, dia mendesak Jokowi untuk memberikan akses “langsung dan tidak terbatas” bagi Komisioner OHCHR untuk berkunjung ke Papua.
Ya, Australia memang salah satu negara yang kerap mengkritik Indonesia terkait situasi, kondisi dan kebijakan di Papua. Sejumlah politikus Australia bahkan kerap mendesak pemeritah Negeri Kanguru untuk turun tangan mengawasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Nahasnya, secara subtansi tidak ada yang keliru dengan desakan itu. Jauh-jauh hari, Jokowi sudah berjanji di hadapan mantan Komisioner OHCHR Zeid Raad Al Hussein untuk mengizinkan wartawan asing dan pemantau HAM masuk Papua. Soal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM terkait demonstrasi di Papua jelas suatu kewajiban. Sayangnya, ketiga tuntutan ini belum dilaksanakan sampai hari ini.
Kabar sejumlah aktivis menyerahkan data tahanan politik dan korban tewas Papua kepada Jokowi yang tengah berkunjung ke Canberra, Australia, makin memperkeruh hal ini. Veronica Koman sukses membangun wacana yang lantas disambar oleh media massa. Pendek kata, Jokowi datang ke Austalia memang seolah-olah untuk membiarkan dirinya dihina!
Mestinya penghinaan ini tidak terjadi. Kejadian ini membuktikan Kementerian Luar Negeri sudah kecolongan. Bahkan sekalipun tuntutan itu benar secara subtansi, ada metode penyampaian yang lebih elegan biar Indonesia tidak dipermalukan. Misalnya lewat pertemuan tertutup.
Pemerintah bisa saja mensyaratkan klausul ini sebelum kedatangan Jokowi ke Australia. Kalau Pemerintah Australia tidak bisa menjamin, ya batalkan saja rencana lawatan itu.
Pemutusan pembatalan lawatan ini jauh lebih baik ketimbang Indonesia jadi olok-olok di dunia internasional. Bagaimanapun nama baik Indonesia di dunia internasional amat mahal harganya. Jangan diobral begitu. Indoensia negara berdaulat, kita tidak boleh “geper” oleh intervensi negara manapun.