SATULIS.COM, BAUBAU – Putusan hakim tunggal praperadilan Achmad Wahyu Utomo SH MH dalam sidang praperadilan antara Risky Afif Ishak (Pemohon) melawan Polda Sultra (Termohon), membuat kuasa hukum Walikota Baubau, Dedi Ferianto SH CMLC sebagai pihak terkait “meradang”.
Dalam rilisnya yang diterima redaksi Satulis.com, Rabu pagi (30/12/2020) Dedi Ferianto mengatakan, pertimbangan hukum dan putusan hakim tunggal praperadilan, Achmad Wahyu Utomo SH MH dalam sidang praperadilan antara Risky Afif Ishak melawan Polda Sultra di PN Baubau, diduga melanggar putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016.
Dikatakan, pertimbangan hukum dan putusan hakim tunggal praperadilan Achmad Wahyu Utomo SH MH yang mengabulkan permohonan Pemohon tentang tidak sahnya penetapan tersangka terhadap Pemohon yang dilakukan Polda Sultra selaku termohon, melampaui kewenangan/abuse of power.
Hal itu kata Dedi Ferianto, tercermin dalam putusannya hakim tunggal Praperadilan membatalkan Sprindik dan penetapan tersangka pemohon karena didasarkan pada masa daluwarsa mengenai kapan terjadinya tindak pidana, dan kapan dilakukan laporan oleh korban/pelapor di Polres Baubau dan Polda Sultra. Sedangkan mengenai daluwarsa telah memasuki materi pokok perkara dan bukan materi pemeriksaan dalam ruang lingkup Praperadilan.
Mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dalam pranata Praperadilan telah ditegaskan dalam Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Yang menyatakan, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Putusan MK tersebut telah ditegaskan pula dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 yakni, Pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
Berdasarkan kaidah tersebut, sudah sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lagi bahwa pemeriksaan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dalam pranata Praperadilan hanya terbatas menilai aspek formil bukan memasuki materi perkara.
“Apalagi berkas perkara tersangka in casu Pemohon telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, ini bermakna penetapan tersangka terhadap Pemohon telah didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan telah melalui serangkaian penelitian oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga secara formil tidak ada lagi keragu-raguan mengenai ada tidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka,” beber Dedi Ferianto.
Namun faktanya lanjut Dedi Ferianto, hakim tunggal Praperadilan a quo justru bukan memeriksa aspek formil ada tidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah, namun telah memasuki materi perkara dan mempertimbangkan dalil-dalil pemohon lainnya dimana secara yuridis bukanlah kewenangan Hakim Tunggal Praperadilan atau bukan materi pemeriksaan dalam ruang lingkup Praperadilan.
Dikatakan, jika hakim obyektif dan tegak lurus sebagaimana kaidah hukum tersebut diatas, semestinya permohonan Pemohon haruslah ditolak karena berdasarkan fakta persidangan dan alat bukti yang diajukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara selaku Termohon telah dapat membuktikan secara detail, terperinci dan terang benderang mengenai alat-alat bukti yang sah dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
Anehnya, Hakim Tunggal Praperadilan justru mengenyampingkan dan membatalkan Surat Kejaksaan Tinggi tentang (P-21), Alat Bukti yang sah tersebut, Sprindik serta Surat Penetapan Tersangka Pemohon.
“Ini adalah terobosan hukum yang patut dipertanyakan dan merupakan preseden buruk dalam peradilan indonesia,” tegasnya.
Adanya Tekanan Massa Selama Proses Persidangan Berlangsung
Bahwa sejak awal persidangan hingga putusan praperadilan dijatuhkan, terdapat tekanan massa yang melakukan aksi pendudukan di depan Pengadilan Negeri Baubau untuk mendukung Pemohon.
“Kami menduga dalam mengadili perkara praperadilan a quo Hakim Tunggal Praperadilan tidak obyektif dan melampaui kewenangannya karena kehilangan independensi dan imparsialitas akibat pengaruh dari tekanan massa di dalam dan di luar pengadilan dari pihak Pemohon,” bebernya.
Olehnya itu, terhadap pertimbangan hukum dan putusan Hakim Tunggal tersebut, pihaknya akan melakukan langkah-langkah hukum yang dianggap perlu. Salah satunya akan melaporkan hakim tunggal praperadilan yang mengadili perkara a quo di Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. (Adm)
Peliput : Gunardih Eshaya