Jumat, November 22, 2024

Polemik Aset Buton dan Baubau, Sjafei Kahar Angkat Bicara

SATULIS.COM, BAUBAU Polemik aset Pemkab Buton yang berada di Kota Baubau terus mengundang kontroversi dan menjadi perdebatan panjang. Sejumlah pihak angkat suara terkait hal itu, tidak terkecuali mantan bupati Buton dua periode, LM Sjafei Kahar.

Dalam kegiatan Koja-koja Kahawa Rongi di Sunset Resort, Kelurahan Sulaa, Kota Baubau, Sabtu (06/02/2020), Sjafei Kahar yang turut hadir sebagai pembicara mengatakan, baik Kabupaten Buton maupun Kota Baubau, sama benar dalam melihat persoalan aset.

Dimana selama 10 tahun pada masa kepemimpinannya dan Amirul Tamim sebagai Walikota Baubau saat itu, sama-sama berpengang pada aturan. Olehnya itu, Sjafei Kahar memilih menyalahkan regulasi yang dibuat pemerintah pusat.

“Sebab antara pasal yang satu dan lainnya saling bertolak belakang,” ungkap Sjafei Kahar.

Ia mencontohkan, pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Baubau, pasal 14 ayat 1 dikatakan, bahwa barang tidak bergerak milik Pemda Buton yang ada di Kota Baubau diserahkan kepada pemerintah kota. Namun pada ayat 3 di Undang-Undang yang sama menyebutkan, tatacara penyerahan diatur oleh peraturan menteri dalam negeri (Permendagri).

Atas petunjuk Undang-Undang tersebut maka lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 42 tahun 2001. Regulasi ini yang kemudian menjadi petunjuk pelaksanaan penyerahan aset. Ironisnya, petunjuk ini juga saling bertolakbelakang antara pasal per pasalnya.

Pada pasal 2 menyebutkan, barang tidak bergerak wajib diserahkan ke pemerintah Kota Baubau. Namun pada pasal 4 ayat 1 menyebutkan, barang daerah atau piutang yang termasuk dalam daftar inventaris daerah atau wilayah induk, sebelum ditetapkan penghapusannya harus melalui persetujuan DPRD.

“Jadi di dalam pasal petunjuk itu ada perintah wajib dan harus. Kalau wajib itu tidak perlu lagi persetujuan DPR, tapi ada lagi yang mengharuskan. Jadi sama-sama kuatnya. Kota berpegang di pasal 2, Buton pasal 4. Jadi tidak ada yang salah,” jelasnya.

Baca Juga :  Dewan Dorong Baubau Jadi Kota Warisan Budaya Dunia

Bukan hanya, pada pasal 9 ayat 1 dan 2 menerangkan, penyerahan barang dan utang pituang dilakukan paling lambat satu tahun. Bagi daerah yang pelaksanaan penyerahan barang dan piutangnya telah lebih satu tahun terhitung sejak peresmian daerah dan wilayahnya, diselesaikan paling lambat enam bulan setelah adanya putusan tersebut.

“Sementara dalam Undang-Undang 22 maupun 13 tidak pernah disinggung soal pemindahan ibu kota. Tidak ada itu kewajiban Buton keluar dari ibu kota. Makanya ketika lahir UUD nomor 29 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Wakatobi dan Bombana, disebutkan bahwa pengganti kota dibantu kepada APBD Kabupaten Buton dan pelaksanaannya secara bertahap yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Tidak ada kata satu tahun di situ. Mau 10 atau 20 tahun terserah. Tapi syukurlah karena kami cepat pindah,” katanya.

Tak hanya bangunan fasilitas umum seperti rumah sakit, jembatan, jalan dan sarana olah raga yang telah diserahkan oleh Pemkab Buton kepada Pemkot Baubau. Namun beberapa bangunan lain yang digunakan untuk fasilitas pemerintahan juga telah ia serahkan, di antaranya bangunan kantor yang terdapat di kelurahan Batulo yang saat ini digunakan sebagai Kantor Pemuda dan Olah Raga Kota Baubau. Sebelumnya, bangunan tersebut difungsikan sebagai rumah jabatan Wakil Wali Kota.

Kemudian bangunan Gase House yang terletak di Pala 3. Bangunan ini dulunya difungsikan sebagai kantor sekretariat DPRD Kota sebelum akhirnya pindah ke Kelurahan Sulaa.

“Jadi persoalan aset ini hanya bisa diselesaikan oleh dua kepala daerah saja dengan melahirkan win-win solusi dengan koja-koja. Karena kalau pake aturan sama-sama kuat. Tapi aset ini sudah selesai. Wali Kota dan Bupati sudah katakan bahwa persoalan aset sudah tidak ada masalah,” imbuhnya.

Baca Juga :  Kongres PAN, Umar Samiun Himbau ARS Tidak Tekan DPD

Sementara itu, di tempat yang sama, Mantan Bupati yang juga mantan Ketua DPRD Buton, Samsu Umar Abdul Samiun menegaskan jika persoalan sengeketa aset ini sudah selesai. Penyelesaian itu difasilitasi langsung Gubernur Sultra, Ali Mazi belum lama ini.

“Jadi saat itu Pak Gub ingin menyelesaikan aset ini tidak lewat pendekatan aturan saja. Karena kalau itu yang digunakan, maka aset tidak akan selesai. Saya diundang hanya untuk memberi dan menambahkan masukan saja terhadap polemik ini,” beber Umar Samiun.

Sebagai tokoh yang memegang teguh adat dan budaya, ia menilai jika cara yang ditempuh Gubernur Ali Mazi cara yang tepat dan juga merupakan tradisi para leluhur dalam menyelesaikan setiap persoalan, seperti yang tertuang pada sara patanguna yakni pomaa-masiaka, poangka-angkataka, pomae-maekaka, popiara-piara.

“Nah adat ini terjadi di sana. Kita melepaskan formalnya dan mengambil satu nilai budaya. Artinya, kasih sayang yang dimaksud dalam sara pataanguna ini terwujud dipertemuan itu,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, ia sempat menyayangkan sikap salah satu pejabat pemkot yang nyaris tak punya etika dalam menyelesaikan persoalan. Padahal, kebanyakan penghuni pada aset tersebut merupakan warga kota Baubau yang berstatus ASN golongan rendah.

“Dulu juga Pemda Buton tidak pernah mengusir mereka yang tinggal di situ. Padahal mereka warga kota. Sebab frasah poma-masiaka ini yang dikedepankan. Makanya sara pataanguna itu harus dipahami agar tidak terbolak-balik dalam menerapkan,” pungkas Umar. (Adm)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles