Senin, November 25, 2024

LPPKD Cabut Laporan Dugaan Penyalahgunaan Dana Bantuan Hukum Pemkot Baubau, Praktisi Hukum: Kasus Korupsi Tidak Bisa di Cabut

SATULIS.COM, BAUBAU – Lembaga Pemantau Penggunaan Keuangan Daerah (LPPKD) secara mengejutkan mencabut laporannya di Kejaksaan Negeri (Kejari) Baubau atas kasus dugaan penyalahgunaan dana bantuan hukum yang melekat pada Sekretariat Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau.

Keputusan pencabutan laporan itu diambil selang beberapa hari saja setelah kasus yang menyeret nama Walikota Baubau, AS Tamrin, masuk Kejaksaan.

“Sudah dicabut dengan surat (Laporan LPPKD). Kalau sudah dicabut, ya mau diapain lagi,” ungkap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Baubau, Jaya Putra, di kantornya, Kamis (06/05/2021).

Kata dia, LPPKD mencabut aduannya hanya berselang beberapa hari pasca memasukkan laporan indikasi penyalahgunaan anggaran uang jasa pengacara Wali Kota Baubau itu.

“Tetapi kita tetap pantau atau kroscek (kasus ini),” tandas Kajari yang saat dikonfirmasi sedang bergegas ke suatu agenda di Mapolres Baubau.

Wali Kota Baubau, Dr AS Tamrin dan Kepala Kejari (Kajari) Baubau, Jaya Putra, saat menunjukkan dokumen perjanjian kerja sama penanganan masalah hukum bidang perdata dan tata usaha negara, di kantor Wali Kota Baubau, Selasa 13 April 2021.

Ketua LPPKD, Jacka Indrawan mengakui pencabutan laporannya. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran khawatir ada pihak lain yang akan memanfaatkan laporannya. Pun, pihaknya sudah menerima berita acara pencabutan laporan dari Kejari Baubau.

“Iya dicabut karena banyak yang tumpangi gerakannya kita. Karena waktu kami melapor itu, ada tiga surat aksi yang sama masuk di Kejari Baubau, cuma beda nama lembaga dan koordinatornya,” pungkasnya.

Bagaimana sebenarnya penangganan kasus dugaan korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apakah pelapor boleh mencabut laporan dugaan korupsi dan aparat penegak hukum harus menghentikan penangganan kasus dugaan korupsi yang oleh pelapornya telah dicabut?

Terkait hal itu, praktisi hukum Kota Baubau, Adnan SH menegaskan, tindak pidana korupsi bukan merupakan tindak pidana delik aduan seperti tindak pidana pencemaran nama baik. Olehnya itu, terhadap pengaduan atau laporan yang diajukan, tidak bisa dicabut kembali.

Baca Juga :  Buka Musabaqah Tilawatil Quran, Ini Harapan Monianse

Dia memaparkan, tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa atau ekstra ordonari crime. Hal itu karena dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga menjalar pada banyak aspek, termasuk berdampak pada perkembangan angka kemiskinan, pendidikan, pembangunan dan lain lain.

Adnan SH

Oleh karena begitu besar dampaknya, sehingga tidak dimungkinkan untuk mencabut pengaduan atau laporan seperti pencemaran nama baik yang merupakan delik adua.

“Kalau ada seseorang yang telah mengajukan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi baik dikepolisian ataupun di kejaksaan, dan bahkan ke KPK, kemudian menyatakan untuk mencabut pengaduannya atau laporannya, maka orang demikian patut dipertanyakan integritasnya,” kata Adnan.

“Secara tegas laporan dugaan tindak pidana korupsi bukan delik aduan sehingga tidak bisa dicabut,” tegas Adnan SH yang juga menjabat ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Kota Baubau.

Kemudian kata Adnan, terhadap seorang tersangka atau terdakwa tindak pidana, meskipun telah mengembalikan uang kerugian negara yang telah dia rampas, sama sekali tidak menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatannya.

Namun demikian terhadap tersangka tindak pidana korupsi, penting untuk mengembalikan kerugian negara, karena meskipun itu tidak menghentikan perkara, tapi paling tidak pengembalian kerugian itu dapat menjadi pertimbangan untuk mengurangi hukumannya.

“Jadi tersangka atau terdakwa yang mengembalikan kerugian negara tidak menjadikan proses perkaranya dihentikan atau dibebaskan dari pertanggung jawaban, karena pengembalian itu tetap tidak menghilangkan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa,” jelas Adnan.

Dibeberkan Adnan, bahwa ketentuan yang mengatur tentang pengembalian kerugian negara yang memungkinkan perkara dugaan korupsi, dapat diberlakukan asas restorative justice. Penegasannya diatur dalam Surat Edaran (SE) Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010.

Meski begitu, dalam surat edaran itu, yang dimungkinkan untuk diselesaikan melalui restorative justice hanya terhadap kasus dengan kerugian yang kecil, dengan taksiran kerugian Rp 10 juta rupiah atau sedikit diatasnya.

Baca Juga :  Kasus Guyon Bom, Otoritas Bandara Betoambari Diduga Sekongkol dengan Pelaku

“Itupun Surat Edaran diatas hanya bersifat sebagai suatu himbauan proses penanganan perkara tindak pidana korupsi di lingkup Kejaksaan. Jadi tidak mencakup wilayah penegak hukum yang lainnya,” tutup Adnan.

Sebagaimana diketahui, kasus ini dilaporkan di Kejari Baubau, Selasa (27/4) lalu. LPPKD mengendus indikasi penyalahgunaan APBD untuk membiayai pendampingan hukum kepada AS Tamrin untuk melaporkan dugaan pencemaran nama baik oleh aktivis Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Baubau, Riski Afif Ishak.

AS Tamrin mendapatkan bantuan hukum dari salah seorang pengacara Dedi Ferianto berdasarkan surat kuasa nomor: SK.001/DF.Pid/IX/2019 tertanggal 2 September 2019. Lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau menindaklanjuti surat kuasa itu dengan menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) nomor: 6/HKM/IX/2019, juga pada tanggal 2 September 2019.

Dalam SPK itu, Setda Baubau menyiapkan uang pembayaran untuk pengacara sebesar Rp 150 juta. Dana itu juta dipergunakan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Kasus itu sendiri berakhir hanya sampai pada putusan praperadilan.

Hakim PN Baubau dalam putusan nomor: 4/Pid.Pra/2020/PN Baubau, tertanggal 28 Desember 2020 menyatakan laporan AS Tamrin terhadap Riski Afif sudah daluarsa dan memerintahkan penyidik menghentikannya. (Adm)

Peliput : Gunardih Eshaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles