SATULIS.COM, BUTON TENGAH – Gagalnya pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD-P) Kabupaten Buton Tegah (Buteng) tahun 2021 oleh Pemda dan DPRD setempat menuai banyak kritikan dan tanggapan. Salah satunya datang dari mantan anggota DPRD Buteng, Saleh Ganiru.
Kepada Satulis.com, Saleh Ganiru mengaku selama beberapa tahun masa kepemimpinan Bupati Buteng, Samahuddin, dirinya tidak pernah mengeluarkan pernyataan maupun kritikan terhadap kinerja pemerintah. Namun tidak untuk kasus gagalnya pembahasan APBD-P.
Menurut pria yang akrab disapa Saleh, apa yang dinyatakan oleh Sekda Buteng, Konstantinus Bukide seperti yang dilansir sejumlah media, bahwa konsekuensi tidak disepakatinya APBD-P menyebabkan berbagai kerugian, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat, adalah kelalaian dan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Buteng. Semisal dana hibah Rp 1,5 miliar yang konon kabarnya diperuntukkan bagi BPJS dan tunjangan TPP untuk pegawai selama 3 bulan.
“Jadi Sekda jangan lagi menyalahkan DPRD maupun pihak lain. Itu adalah kesalahan mereka (Eksekutif), tidak becusnya mereka mengelola pemerintahan. Saya katakan begitu, karena berdasarkan informasi yang diperoleh, bahwa pengajuan KUA PPAS APBD-P oleh Pemkab Buteng, diajukan pada penghujung batas waktu pembahasan, yakni 29 September,” tegas Saleh.
Pria yang pernah maju sebagai wakil bupati Buteng mendampingi Mansur Amila ini menegaskan, ada bay desain oleh Pemda Buteng untuk mengkarantina anggota DPRD Buteng dengan alasan deadline waktu, sehingga pembahasan APBD-P tidak maksimal.
Padahal jika melihat pada regulasi, APBD-P sudah bisa diajukan setelah realisasi anggaran semester pertama, yang di estimasi bulan Juli. Meskipun dibanyak daerah, pada bulan Juli belum mengajukan APBD-P karena masih menunggu hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Tapi okelah, tidak usah kita bicara Juli, karena masih ada bulan Agustus. Kenapa waktu itu tidak dimanfaatkan untuk pengajuan pemahasan APBD-P agar lebih maksimal. Ini ada hubungannya dengan tradisi pembahasan APBD-P di Buteng yang sistemnya kejar setoran,” tutur pria yang pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Buton.
Lebih lanjut dikatakan Saleh, selama kurun waktu lima tahun dia mengamati, pembahasaan APBD-P Buteng rata-rata makan waktu satu sampai dua hari. Selaku mantan anggota DPRD tiga periode, Saleh menegaskan jika waktu satu sampai dengan dua hari sangat tidak memungkinkan untuk membahas ulang anggaran ratusan miliar dengan sekmen kepentingan masyarakat yang begitu berfariasi.
“Kelihatannya pola itu yang mau coba dipakai untuk APBD-P. Ketika dewan merasa bahwa itu sudah tidak sesuai dan deadlock, maka itu resikonya,” tuturnya.
“Jadi saya mendukung sikap DPRD Buteng terkait dengan deadlocknya pembahasan APBD-P Buteng. Karena menurut saya, pengajuan APBD-P ditanggal 29 September, bisa dikatakan pelecehan terhadap institusi DPRD. Pengajuan tanggal 29 September itu, sudah ikut pola pemberontakan G30/S PKI, tunggu waktu lengahnya orang,” sindirnya.
Konsekuensi dari deadlocknya pembahasan APBD-P menurut Saleh, telah diatur dalam Permendagri, dimana Pemda Buteng harus mengacu pada APBD Induk. Dia juga mewarning Bupati Buteng agar tidak mengeluarkan Perbup. Hal itu berkaitan dengan unsur emergensi.
Secara normatif lanjut Saleh, pembahasan APBD-P itu dilakukan bersama-sama dengan DPRD. Keluarnya perbup, akan berkonsekuensi dengan hukum. Karena para pemerhati penyelenggara pemerintah pasti mempertanyakan landasan lahirnya Perbup.
“Kalau perbup, bisa saja dikeluarkan pada daerah transisi dimana DPRDnya tidak ada. Tapi di Buteng sudah tahun ke-lima.
Oleh karena itu, terkait dengan konsekuensi yang menimbulkan kerugian otomatis kepada masyarakat dan daerah, menurut saya adalah hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemda setempat, khususnya kepala daerah.” katanya.
“Karena daerah yang dilanda bencana saja seperti Palu dan NTB, APBDnya masih bisa dibahas secara normal. Apalagi Buteng, masyarakatnya dan daerahnya tidak ada Fosmajos yang luar biasa. Jadi itu aspek kelalaian,” tegasnya. (adm)
Peliput : Gunardih Eshaya