SATULIS.COM, BUTON TENGAH – Sejumlah petani di Umala Pulu, Desa Pungkalaero, Kecamatan Kabaena Barat, yang lahannya masuk dalam lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Anugrah Harisma Berkah (AHB) menuntut ganti rugi lahan.
Salah satu pemilik lahan, Zaif Tawakal (63) mengatakan, hingga kini PT. AHB belum menyelesaikan ganti rugi lahan petani secara keseluruhan. Masih ada sekitar 54 hektar lahan petani yang belum dibayarkan ganti ruginya.
Pria yang akrab disapa Sangkoni ini menceritakan awal mula perjuangan bersama petani lainnya yang juga warga Talaga Raya, Kabupaten Buton Tengah
untuk membuka lahan pertanian yang kini menjadi lokasi IUP PT. AHB.
Saat itu tahun 1986. Dia bersama 10 orang lainnya nekat menyeberangi lautan dari Talaga Raya menuju Umala Pulu (Pongkalairo) menggunakan perahu tanpa mesin, hanya mengandalkan dayung. Berbekal tekad yang kuat untuk meraih kehidupan dan rezeki halal, akhirnya mereka tiba dengan selamat setelah menempuh waktu sekira 6 jam.
Mereka kemudian menggarap lahan pertanian di sana. Menanam tanaman jangka pendek dan tanaman jangka panjang.
“Kita membuka lahan pertanian itu awalnya sekitar 30 hektar dan terus berkembang mencapai 100 hektar lebih bersama masyarakat Desa Talaga ,” ucap Sangkoni.
Ditahun 2010 kata Sangkoni, Gubernur Sultra saat itu dijabat Nur Alam, mengeluarkan izin tambang nikel IUP untuk PT. Anugrah Harisma Berkah seluas kurang lebih 2000 hektar. Pada saat itu melalui pihak Kecamatan Talaga Raya, perusahaan tambang PT. AHB bersosialisasi di Kelurahan Kokoe.
Sosialisasi dilakukan untuk membicarakan ganti rugi harga lahan pertanian masyarakat Petani Umala Pulu yang akan dijadikan sebagai lokasi tambang nikel. Saat itu pak Sangkoni tidak ikut dalam sosialisasi karena masih berada di perantauan.
Dikatakan Sangkoni, kala itu pihak perusahaan PT. AHB memberikan berbagai janji dan iming-iming. Salah satunya akan memasukkan anak-anak pemilik lahan untuk dipekerjakan dalam perusahaan tambang.
“Akhirnya para petani pun merelakan lahannya dijual Rp.1000 hingga Rp. 2500 permeter di tahun 2012,” ungkap Sangkoni.
Namun saat itu, PT. AHB belum membayar secara utuh ganti rugi lahan petani yang masuk dalam lokasi IUP. Kemudian pada tahun 2021, masyarakat petani Umala Pulu yang berjumlah puluhan orang, menagih kembali janji ganti rugi lahan ke PT. AHB. Dimana luasan lahan yang belum dibayarkan sekira 54 hektar.
Mirisnya kata Sangkoni, pihak PT. AHB kemudian mengelak bahwa telah membayar atau sudah membebaskan lahan pertanian milik para petani secara keseluruhan.
“Kami petani yang memiliki hak dilahan itu (IUP PT. AHB) akan terus berjuang menuntut ganti rugi terhadap lahan milik kami yang belum dibayarkan, yaitu 54 Hektar dari total identifikasi seluruh petani di Umala Pulu, pulau Kabaena,” tegasnya.
Dalam melakukan perjuangan itu, Sangkoni dan petani lainnya akan menggandeng aktivis dari BOM Kepton. Perjuangan akan terus dilakukan sampai ada titik temu dengan pihak pemegang izin IUP PT. AHB dan lahan mereka harus dibayarkan secara utuh.
Lebih mengecewakan lagi, Sangkoni dan beberapa petani lainnya mendapat informasi bahwa sejumlah petani yang berasal dari Desa Pongkalaero, Kabaena telah diganti rugi lahannya Rp.1,2 Miliar/hektar.
“Kami akan ke istana negara meminta bantuan Presiden, pak Jokowi jika lahan pertanian kami tidak dibayar PT. AHB. Kami juga meminta pak Presiden agar menghentikan aktivitas PT.AHB jika pihak perusahaan belum membayar ganti rugi lahan milik petani seluas 54 Hektar,” bebernya.
“Jadi kami menuntut agar dibayarkan untuk setiap hektarnya diganti Rp.1,2 Miliar.
Petani Umala Pulu juga mendesak Kementrian ESDM dan Bahlil Lahadalia selaku menteri Investasi yang menangani masalah pertambangan, agar mencabut izin tambang PT. AHB jika tidak mampu membayar Lahan masyarakat petani.
Hal senada juga diungkapkan oleh petani lainnya, Hasim. Sembari meneteskan air mata dia menceritakan perjuangan awalnya menggarap lahan bersama Sangkoni. Jika bisa memutar waktu, dia memilih agar tidak ada tambang yang masuk kedalam lahan pertaniannya. Terlebih dia merasa haknya sebagai pemilik lahan, sama sekali tidak dihargai.
“Karena sesuai dengan Pasal 135, Pasal 136 Undang- Undang Minerba, Pemegang Izin IUP harus menyelesaikan kewajibannya untuk membayar kepada Pemegang Hak atas tanah di lahan Umala Pulu yang kini menjadi lahan IUP PT. AHB,” jelasnya.
Sampai dengan berita ini di rilis, media ini belum berhasil mengakses PT. AHB untuk dimintai keterangannya. (Adm)