SATULIS.COM, BAUBAU – Sejak berlangsungnya proyek jalan lingkar Kota Baubau, aktifitas penambangan galian C yang diduga ilegal semakin marak terjadi di Kota Baubau, khususnya di Kelurahan Waborobo dan Labalawa, Kecamatan Betoambari.
Selain merusak fasilitas daerah, tak ada kompensasi yang diberikan pengelola kepada warga terkena dampak akibat aktifitas tersebut.
Dari pantauan media, terdapat lima titik lokasi penggalian tanah yang berada di dua kelurahan itu. Dari lima titik lokasi galian yang ada, satu diantara tengah beraktifitas. Diketahui, material tersebut digunakan pada proyek pembangunan jalan lingkar poros Batupopi-Waborobo.
Selain membuat pencemaran lingkungan, aspal jalan yang menghubungkan kota Baubau dan Kabupaten Buton Selatan menjadi rusak. Truk pengangkut material yang digunakan berkapasitas di atas 5 metrik ton (MT).
Saat dikonfirmasi, Lurah Labalawa, Sahlan, mengaku belum mengetahui apakah aktifitas tersebut telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau belum. Namun yang pasti, pemilik lahan dan pihak pengelola pernah mengajukan permohonan rekomendasi penerbitan IUP.
“Dan kami (pihak kelurahan) sudah terbitkan rekomendasi itu. Arsipnya masih ada di kantor kelurahan,” kata Sahlan ketika ditemui di Kantor Camat Betoambari, Jumat (2/9/2022).
Sejauh ini, kata dia, pihaknya belum menerima pemberitahuan tentang dimulainya aktifitas penambangan itu. Kendati begitu, pihak Kecamatan bersama Kelurahan telah melakukan peninjauan langsung terkait adanya fasilitas daerah yang rusak berupa aspal jalan akibat dilalui truk pengangkut material.
“Terhadap bentuk tanggungjawab pihak pengelola maupun pemilik lahan saya tidak tahu. Karena hal itu adalah komunikasi tingkat pimpinan. Yang pasti kami pihak kelurahan sudah melapor ke Camat,” tambahnya.
Ketika ditanya terkait jenis izin yang dimohonkan pihak pengelola, dirinya mengaku tak tahu. Alasannya, penerbitan izin merupakan kewenangan dinas perizinan. Perlu diketahui, selain IUP, legalitas aktifitas penambangan galian C juga harus mengantongi izin pengangkutan dan penjualan.
“Namun ada proses tersendiri apabila aktifitas itu tak mengantongi izin. Kami kelurahan ini hanya memantau saja. Terkait dengan kewajiban pemilik IUP terhadap masyarakat terkena dampak itu saya juga tidak tahu,” ungkapnya.
Sementara itu, pemilik lahan, Atiru, mengaku bila aktifitas pengolahan itu telah mengantongi izin. Ketika ditanya terkait nomor IUP, dirinya mengaku tak tahu. Alasannya, seluruh dokumen mengenai legalitas IUP dipegang oleh pihak pengelola yakni, Simon Lion alias Cheng-cheng. “Izin itu namanya mereka (Cheng-cheng). Jadi tanya dia saja,” tuturnya.
Terhadap aktifitas itu, dirinya mengaku mendapat hasil sebesar Rp 40 ribu setiap retase nya. Hanya saja, ia tak mengetahui secara pasti berapa banyak jumlah retase yang kini telah terjual. “Yang tahu itu orang di lapangan yang tulis jumlah retase,” pungkasnya.
Salah satu warga yang tak ingin disebutkan namanya mengaku bila aktifitas penambangan hingga proses pengangkutan sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir ini. Ironisnya, warga setempat tak mendapat hasil berupa kompensasi dari pihak pengelola. Yang ada, warga hanya mendapat debu ketika mobil pengangkut lewat.
“Belum pernah ada sosialisasi dari mereka (pihak pengelola dan pemilik lahan) kepada warga disini. Padahal seharusnya itu dilakukan sebelum aktifitas itu dilaksanakan,” terangnya.
Ia berharap kepada pihak terkait untuk segera turun tangan dengan persoalan ini. Sebab kegiatan itu sudah sangat merugikan warga dan pemerintah setempat.
“Jalan kita disini sudah rusak gara-gara mobil yang bolak balik muat material. Kita disini makan debu setiap hari. Tolong lah, pihak berwenang ini turun tangan dengan persoalan ini,” pungkasnya. (Adm)