SATULIS.COM – Masyarakat Indonesia sering membagi-bagikan uang saat lebaran. Biasanya uang dibagikan dengan nominal paling kecil ke sanak saudara, khususnya anak-anak.
Lantas, dari mana awal mula kebiasaan ini berlangsung?
Mengacu pada berbagai sumber, tradisi ini sebenarnya mirip dengan tradisi orang Tionghoa, yakni pembagian angpau. Biasanya, orang Tionghoa membagikan angpau saat merayakan tradisi besar, yakni imlek. Uang tersebut berada di dalam amplop merah yang bermotif tulisan China.
Ada kemungkinan, umat Muslim di Indonesia juga ‘tertular’ oleh tradisi orang Tionghoa tersebut. Mengingat, relasi kebudayaan antara kedua pihak sudah terjalin sejak lama. Terkadang juga pengaruh kebudayaan lain tanpa disadari diresapi, sehingga membentuk akulturasi dan asimilasi.
Meski demikian, tradisi bagi-bagi uang pernah juga dilakukan di Timur Tengah.
Mengutip Britannica, pada masa Dinasti Fatimiyah, yang eksis pada tahun 909 sampai 1107 masehi, pernah ada tradisi membagikan uang, pakaian, atau benda sejenis kenapa anak-anak saat Idulfitri. Sementara di kekuasaan Ottoman pada dari 600 sampai 1300-an masehi, juga terjadi hal serupa. Bahkan, pemberian hadiah tersebut sudah seluruhnya uang tunai.
Di Indonesia, tak diketahui pasti sejak kapan kebiasaan ini berlangsung. Namun, pemberian uang tunai ke saudara dengan menyebutnya sebagai Tunjangan Hari Raya (THR), bisa dipastikan terjadi setelah tahun 1950-an.
Sebab, di tahun tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Tunjangan Hari Raya untuk membantu para buruh menghadapi Idulfitri. Setelah ada peraturan tersebut, THR menjadi sesuatu yang tak bisa dilepaskan ketika lebaran tiba.
Akan tetapi, dalam kasus di Jakarta, Jan Luiten van Zanden dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2011) mencatat harga bahan pokok di ibukota negara melonjak ratusan persen pada 1959, menjadi 325% dari harga awal di tahun 1950.
Saat situasi sulit ini, salah satu kelompok yang sengsara adalah kaum buruh yang kerap diupah rendah. Mereka berada pada kondisi genting karena berada di zona kemiskinan dan tak mampu beli bahan pokok.
Kondisi makin parah saat tiba lebaran. Harga bahan pokok semakin melonjak, sedangkan mereka penghasilannya tidak bertambah. Akibatnya mereka tak mampu merayakan hari kemenangan dengan gembira dan masih bergelut dengan kemiskinan.
Kondisi seperti ini kemudian melahirkan kebijakan yang mengharuskan perusahaan memberi pendapatan ganda di luar penghasilan bulanan, atau disebut sebagai Tunjangan Hari Raya (THR).
Beberapa perusahaan pun mulai ada yang memberi THR bagi para buruh, meski bersifat sukarela. Karena bukan sesuatu yang wajib, hal ini kemudian menimbulkan masalah baru dan memperbesar ketimpangan.
Oleh karena itu, tulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut pemerintah membuat kebijakan resmi terkait pemberianTHR.
Dalam berbagai forum, SOBSI serius memperjuangkan hadirnya aturan pemerintah tentang keharusan perusahaan mengeluarkan THR sebesar satu bulan gaji untuk menolong para buruh yang kesulitan menjelang Lebaran. SOBSI berdiri pada 29 Noveber 1946 di Yogyakarta. Sejak awal, SOBSI memperjuangkan nasib buruh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, SOBSI juga punya misi memberantas kemiskinan dan anti-korupsi.
Dalam perkembangannya, SOBSI bergerak berdasarkan teori Marxisme. Dan karena ini pula, organisasi buruh ini sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak pula anggota PKI yang jadi anggota SOBSI. Tak heran, SOBSI dianggap salah satu ‘onderbouw’ PKI. Sebagai organisasi buruh nomor satu di Indonesia masa Orde Lama, salah satu hal penting yang diperjuangkan SOBSI adalah pemberian THR kepada buruh.
Namun, kiprah SOBSI harus berakhir di tahun 1966. Presiden Soeharto yang anti-komunis turut membubarkan SOBSI karena dianggap dekat dengan PKI. Banyak anggotanya yang ditangkap dan ditahan tanpa bukti pengadilan.
Setelah kejadian tersebut, tak ada lagi organisasi buruh sebesar SOBSI yang punya anggota sebanyak 2 juta orang. (adm)