SATULIS.COM, Buton Selatan – Warga Desa Jaya Bakti Kecamatan Sampolawa, Muh Adnan Mj melayangkan somasi ke 15 anggota DPRD Busel terkait legalitas pembentukan panitia dan pelaksanaan hak angket yang hingga saat ini masih terus berpolemik.
Didampingi Kuasa Hukumnya, La Ode Abdul Faris bersama Ketua Forum Pemerhati Kebijakan (FPK), Risky Ishak, Jumat (3/7/2020) sekira pukul 15.10 wita, melayangkan somasi ke kantor DPRD Busel.
Kuasa Hukum Penggugat, La Ode Abdul Fariz, S.H kepada wartawan menjelaskan, pihaknya menengarai ada beberapa hal yang janggal terkait pelaksanaan hak angket oleh DPRD Busel.
Menurut Fariz, dasar yang digunakan pelaksanaan hak angket adalah Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang dokumen palsu.
Padahal, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang diduga menggunakan dokumen atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah atau wakil kepala daerah, haruslah berdasarkan pembuktian dari lembaga berwenang yang menerbitkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf h.
“Barulah DPRD menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan,” ujar Fariz.
Lanjutnya, UU Nomor 23 Tahun 2014, telah dijawab oleh PKPU Nomor 3 Tahun 2017, tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, BAB II Bagian Kesatu Pasal 4 Huruf C.
Dikatakan, persyaratan calon dan pencalonan berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.
“Lebih jauh lagi dugaan ijazah palsu merupakan ranah hukum pidana sehingga penyelesainnyapun harus oleh penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia bukan DPRD Busel, karena sudah ditindak lanjuti dengan SP3 Polres Mimika dan Polda Sultra, Jadi semua ini telah Clean And Clear,” tegas Fariz.
Ketua Forum Pemerhati Kebijakan (FPK) Publik Risky Ishak, menilai surat keputusan pembentukan pansus di anggap melanggar PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib (tatib), dan harus memperhatikan Pasal 371 dan Pasal 381 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Lebih lanjut Risky Ishak memaparkan, selain cacat hukum, pembentukan pansus DPRD Busel juga terlalu melampaui fungsi dan kewenangan sebagai anggota DPRD. DPRD lahir untuk mengontrol kinerja pemerintah daerah, bukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
“Ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengingkari kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip pokok negara hukum,” tuturnya.
“Jadi kalau melihat pembentukan pansus itu adalah merupakan pembentukan yang diciptakan untuk melahirkan stikma buruk pada tatanan wilayah Buton selatan, itu tidak boleh dan kami sangat sayangkan,” tutupnya.
Seperti diketahui sebelumnya, DPRD Busel menggelar rapat Bamus dilanjutkan sidang paripurna pembentukan hak istimewa, hak angket dalam waktu singkat. Pembentukan Pansus itu atas akibat desakan sejumlah massa yang tergabung dalam pemuda Kepton Kabarakati yang menggelar unjuk rasa .
Pembentukan Pansus ini sesuai surat keputusan (SK) Nomor: 03/DPRD/2020/ yang diketuai La Hijira, Wakil Ketua, La Ode Ashadin dan Sekretaris La Ode Amal serta 12 Anggota lainnya. (Adm)
Peliput: Alan Mustajab