SATULIS.COM, Buton Tengah – Temuan dugaan pungutan liar (pungli) oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Republik Indonesia pada tahun 2018 terhadap enam Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Buton Tengah (Buteng) Sulawesi Tenggara (Sultra) oleh salah satu Kepala dinas dianggap sudah clear dan tidak ada masalah.
Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Asrarudin, Asisten III yang pada 2018 silam menjabat selaku kepala dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Buteng.
Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pemda (Disperindag) saat itu semata untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta pembinaan kemasyarakatan dengan menggunakan Perda Induk (Buton) di Buteng.
“Apabila satu otonomi baru belum terbentuk Perda dalam rangka menggali pendapatan asli daerah guna membiayai penyelenggaran pemerintahan, maka bisa memakai Perda induk yang melahirkan otonomi baru dengan catatan daerah otonomi baru mengeluarkan Perbub dengan masa berlaku 1 tahun,” Ujar Asrarudin saat ditemui oleh beberapa awak media diruang kerjanya, Selasa (20/10/2020).
Sehingga atas dasar itu, Disperindag Buteng dibawah kepemimpinannya melakukan penarikan retribusi pasar yang kemudian masuk ke kas daerah.
“Sembari menarik retribusi, Pemda juga kemudian berupaya menggagas Perda terkait ini sebab saat itu Buteng DPRD nya sudah terbentuk,” katanya.
Namun didalam perjalanan menyusun perda, masih kata Asrarudin, membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Saat disinggung apakah Perbub dan Perda Induk yang dipakai untuk menarik retribusi memiliki nominal yang sama, Asrarudin menjawab dengan nada politis dan mengaku sudah agak lupa dengan nominal pada saat penarikan retribusi (2018).
“Kalau itu da berubah berarti terjadi perubahan, kalau itu sama berarti da persis antara Perda induk dengan Perbub (penarikan retribusi nominalnya sama antara Perda induk dan Perbub). Saat ini saya sudah tidak lagi di Perindag jadi agak lupa nominnalnya berapa, Intinya yang kami pungut saat itu sesuai dengan Perbub,” terangnya.
Untuk pasar yang di pungut retribusinya, lanjutnya, adalah semua pasar yang biaya pembangunannya menggunakan anggaran pemerintah, baik itu APBN maupun APBD.
“Dari daftar pasar yang ada jumlahnya ada 18 pasar, namun tidak semua dipungut retribusinya, hanya untuk pasar Mawasangka dan Lombe itu saya bisa pastikan di pungut retribusinya,” katanya.
Lebih jauh, saat ditanya Perbub berapa yang dipakai oleh Disperindag saat memungut retribusi pasar pada saat itu, Asisten III tersebut mengaku lupa dan mengarahkan agar bisa menanyakan hal itu ke bagian hukum.
“Disana teregis semua. Jangan sampai saya salah sebut apalagi sudah lama saya tinggalkan. Jadi bisa langsung kesana untuk tanyakan itu,” pungkasnya.
Diketahui, berdasarkan temuan BPK RI, Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah memungut retribusi pasar selama 1 tahun lebih sejak 7 Agustus 2017 hingga Desember 2018 dengan jumlah Rp 31.500.000. (Adm)
Peliput : Arwin