SATULIS.COM, BAUBAU – Koja-koja Koadati yang digelar Forum Pemerhati Budaya Buton (FPBB) di aula Metro, Sabtu (16/01/2021), membahas berbagai hal menyangkut pelestarian budaya, tidak terkeculai ajaran PO-5 yang dicetuskan Walikota Baubau, AS Tamrin.
Falsafah PO-5 yang disebagian besar isinya disadur dari Sara Patanguna, dianggap akan sebagai bentuk pengkaburan dari Sara Patanguna itu sendiri. Bahkan oleh penggiat budaya, Samsu Umar Abdul Samiun, mengatakan jika PO-5 dapat dikategorikan sebagai plagiat.
“Misalnya, polemik PO-5. Gaungan PO-5 ini sudah masif dilakukan. Padahal itu menghilangkan nilai originalnya (Sara Patanguna). Seperti saya katakan tadi ada dua faktor yang menghilangkan nilai itu. Pertama bisa saja ditinggalkan oleh generasi. Kedua ada orang yang sengaja mengaburkan nilai itu, lalu nilai originalnya tidak dibicarakan. Dan ini berbahaya jika dilakukan oleh orang yang memiliki status sosial,” tegas Umar Samiun.
Menurutnya, dimasa walikota Amirul Tamim yang menjadikan kota Baubau sebagai kota Semerbak tak jadi masalah. Pasalnya hal itu tidak mengubah tatanan dan nilai budaya Buton. Berbeda dengan PO-5 yang mengadopsi falsafah pemerintahan Buton kemudian dijadikan sebagai karya ilmiah.
“Menurut saya ini ilmu cocok logi. Bahkan bisa dikatakan sebagai plagiat. Sebab PO5 dengan Sara Patanguna itu sama, tak berbeda. Diktum yang ada dalam po5 itu, sama dengan sara patanguna. Hanya saja sara patanguna itu 4 sedang Po5 itu diktumnya lima yang menambahkan satu pasal, pobinci-bincuki kuli. Padahal binci-binciki kuli ini sama juga, sudah ada sejak dulu. Ini kan ciplakan semua,” nilainya.
Mantan Bupati Buton ini sependapat bila karya ilmiah PO-5 itu dibuat seperti penelitian soal Pancasila. Dalam temuan penelitian tersebut, Pancasila bukan hanya sebagai ideologi negara melainkan juga sebagai alat pemersatu bangsa.
“Saya ingatkan, setiap mencetuskan rumusan, tidak boleh didepannya itu kata benda. Dia harus kata kerja. Saya contohkan tadi, Sara Patanguna. Sara ini lembaga pemerintahan atau kata kerja. Sekarang coba artikan saya makna PO5 itu. PO itu apa, 5 itu apa. PO (Bahasa Buton) itu mangga, sedang lima itu jumlah. Sedang lima ini diambil dari sara patanguna ditambah dengan po binci-binciki kuli. Kalau dia bilang jangan samakan dengan itu, bagaimana caranya tidak bisa disamakan, karena semua nya itu diambil dari yang sudah ada,” jelasnya.
Iya mengaku, andai saat ujian desertasi tersebut dirinya terlibat sebagai penguji, dapat dipastikan karya ilmiah tersebut tak bakalan diterima. “Saya juga berharap dengan pertemuan ini bisa membentuk kelembagaan adat seperti saat membentuk panitia proklamasi kemerdekaan,” pungkasnya.
Selain PO-5, forum tersebut juga menyoal penyebutan Sultan Buton yang selalu disematkan kepada Sultan Lembaga adat buton. Forum menegaskan bila Sultan lembaga adat Buton haruslah menghitung pengangkatan sultannya tersendiri, jangan menyambung angka dari sultan terakhir dijabat oleh La Ode Falihi.
“Sultan Buton terakhir itu La Ode Falihi. Pasca itu, tidak ada lagi sultan. Yang sekarang ini adalah Sultan kelembagaan adat Buton. Jangan disebut sebagai Sultan Buton, karena itu dapat mengkaburkan sejarah. Sultan Buton itu dipilih dan dianggakat, bukan diambil dari garis keturunannya,” tegas Umar Samiun.
Hal senada diungkapkan oleh Budayawan Buton, Hasidin Sadif. Mantan Ketua DPRD Kota Baubau ini mengatakan, pihaknya telah beberapa kali menyampaikan pendapatnya tentang Falsafah PO-5, yang dianggapnya sebagai bentuk pengkaburan sejarah. Hanya saja, apa yang diutarakan, tidak di indahkan.
“Saya dan teman-teman sudah sering menyuarakan (Menentang PO-5) ini, sampai kering juga ini mulut, tapi tidak dihiraukan. Sepertinya yang dilakukan ini sudah terdorong oleh egoisme pribadi (AS Tamrin),” bebernya. (Adm)