Satulis. Com- Jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra) terbagi atas dua kawasan yang, meskipun berbeda identitas kultur dan budayanya, selalu menjaga keharmonisan dalam keseimbangan kekuasaan. Keduanya adalah wilayah daratan yang berada di kaki kanan bagian bawah Pulau Sulawesi serta wilayah kepulauan yang terserak di sekitarnya.
Wilayah daratan dan kepulauan Sultra didiami empat kelompok suku dominan, yaitu Tolaki, Muna, Buton, dan Moronene. Kedua wilayah tersebut menjadi poros dalam pergerakan dan perubahan sosial politik di ”Bumi Anoa” itu dan menjadi pertimbangan khusus dalam setiap pembagian kue politik di Sultra
Pada perhelatan Pilkada di Sulawesi Tenggara (Sultra) atau Pemilihan Gubernur (Pilgub), ada hal menarik yang selalu menjadikan Sultra sedikit berbeda dengan daerah lain dalam hal duet pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). “Budaya” seperti bisa dikatakan menjadi strategi bahkan ‘Hukum” atau aturan tidak tertulis. Ada dua kekuatan suara di Pilgub Sultra ini yakni Sultra daratan dan Sultra kepulauan. Jika melihat pada pilgub-pilgub sebelumnya, pasti akan disandingkan antara tokoh Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan.
Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) atau Pilgub di Sultra memang agak berbeda dengan daerah lain yakni di Sultra, pasangan selalu perpaduan secara letak geografis antara daratan dan kepulauan. Itu sudah terjadi sejak dulu dan itu sangat sulit dihindarkan. Ini sangat laku untuk dijual sehingga tidak ada pasangan yang berani berpasangan antara daratan dan daratan kemudian kepulauan dan kepulauan.
Para elit politik atau partai politik menyadari betul bahwa ada dua kekuatan suara di Pilgub Sultra ini yakni Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan. Jika melihat pada pilgub-pilgub sebelumnya, pasti akan disandingkan antara tokoh Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan. Mau calon 01 dari daratan dan 02 dari kepulauan, atau sebaliknya, itu memang ada dikotomi. Dan seperti itu dianggap pasangan ideal selama ini.
Tentunya partai politik tidak akan berani mengambil di luar pakem tersebut karena dinilai tidak ideal. Olehnya itu tokoh Sultra Kepulauan pasti akan dipasangkan dengan tokoh Sultra Daratan, begitu juga sebaliknya. Fakta sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah, budaya pemilihan pasangan Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan ini menjadi bagian dari pemilihan strategi dalam hal pemenangan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Sulawesi Tenggara. Jika calon gubernurnya berasal dari Sultra Daratan.
Saya menyebut ini dengan istilah “Kawin Paksa” dalam artian bahwa, tanpa perlu pikir panjang, hal semacam ini sudah tidak bisa dibantah lagi dan seolah ada pengumuman besar yang terpatri dalam nalar setiap elit dan masyarakat bahwa jangan coba-coba keluar dari pakem ini!
Habitus dan Doksa dalam “Kawin Paksa” di Pilgub Sultra
Seorang pemikir sosial Pierre Bourdieu memperkenalkan kita dengan apa yang namanya Habitus dan Doksa dalam keuasaan simbolik yang mana ini saya coba tarik dan letakkan pada konsep pemilihan pasangan di Pilgub Sultra antara Sulta Daratan dan Sultra Kepulauan.
Jika dalampengertian umumnya, Habitus merupakan istilah biologi yang berarti tindakan naluriah (instinktif) hewan atau kecenderungan alamiah bentuk suatu tumbuhan. Sementara Doksa adalah kepercayaan umum atau pendapat umum. Dalam pandangan Borurdieu, pengaruh yang tidak disadari sepenuhnya dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar itu merupakan proses dalam pembentukan habitus, yaitu asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan. Ketidaksadaran kultural yang melekat pada habitus senantiasa berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya bagi persepsi maupun kehidupan praktis. Maka muncul pertanyaan apakah selama ini pasangan sultra daratan dan sultra kepulauan semata-mata strategi atau sudah menjadi semacam doktrin yang tertanam berpuluh-puluh tahun yang bahkan berpikir untuk “melawan” konsep tersebut pun tidak pernah terlintas.
Sermentara Bourdieu menjelaskan bawha Doksa (menyerupai ideologi) adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terkait pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam praktik konkritnya, doksa tampil melalui pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu tanpa dipikir atau ditimbang lebih dahulu.
Ini sama halnya bagaimana kita sudah secara otomatis ketika melihat ada pasangan dari Sultra Daratan yang menonjol, akan langsung terpikirkan untuk mencari pasangannya dari Sultra Kepulauan, begitu pula sebaliknya. Kenapa tidak terpikirkan untuk mencari pasangannya di Sultra Daratan juga dan sebaliknya yang Calon Gubernur dari Sultra Kepulauan dominan dengan hasil surveinya misalnya, memilih pasangan juga dari Sultra Kepulauan, pun sebaliknya Sultra Daratan berpasangan dengan Sultra Daratan?
Jawaban paling mudah tentunya ini berkaitan dengan strategi politik agar dua wilayah ini bisa ada yang terwakilkan dari Gubernur maupun Wakil Gubernur nantinya. “Kawin Paksa” ini terjadi karena ini merupakan strategi yang ideal. Adakalanya yang seharusnya ingin maju menjadi calon gubernur harus rela dipersunting menjadi wakil gubernur dengan alasan dan pertimbangan tertenut termasuk soal “giliran”. Nah untuk masalah “giliran” dalam Pilgub Sultra ini, nanti akan saya coba bahas pada tulisan lain.
Media Mengambil Peran
Salah satu rekan saya yang kini menjadi seorang Pemimpin Redaksi di salah satu media masasa terbesar di Sultra, mengungkapkan memang sejarahnya, “perkawinan” antara tokoh Sultra Daratan dan Sultra Kepualauan sudah terjadi bahkan sebelum adanya pemilihan langsung seperti sekarang ini. Dan ini merupakan peran dari para elit yang pada saat ini melihat dari sisi geopolitik bahwa harus terwakili masyarakat Sultra Daratan dan Sultra Kepulauan. Sejak saat itu media pun akhirnya mengikuti arus tersebut hingga saat ini. Wacana yang dibangun media memang tidak pernah keluar dari pakem tersebut.
Bukannya media tidak ingin mengangkat atau menggiring atau melahirkan perspektif baru di masyarakat bahwa tidak selalu harus tokoh sultra daratan dipasangkan dengan Sultra Kepulauan tapi bisa juga antara daratan dan daratan berpasangam begitupun sebaliknya. Tapi, itu sama sekali tidak “seksi”. Apalagi karakteristik pemilih di Sulawesi Tenggara adalah pemilih tradisional dimana masyarakatnya masih mengedepankan ke-sukuan atau kedaerahan.
Mungkin pernah ada media menganggkat isu terkait pasangan Sultra Daratan dengan Sultra Daratan dan juga Sultra Kepulauan dengan Sultra Kepulauan tapi hal itu kurang menarik. Bisa dilihat dari geopolitiknya seperti ini, jadi memang sudah seperi itu rumusnya. Dan media akan terus “menggoreng” isu tersebut selama pembaca tertarik.
Faktanya memang selama ini, para calon juga memanfaatkan media sebagai ajang promosi dan personal branding sebagai seorang tokoh daratan yang sangat cocok dipasangkan dengan tokoh kepulauan, begitu juga sebaliknya. Bahkan ada yang terang-terangan misalkan ada tokoh dari Sultra Daratan yang meminta atau mengirim kode untuk “dilamar” tokoh dari Sultra Kepulauan.
“Kawin Paksa” ini mungkin akan berakhir dan tinggal jadi cerita jika Provinsi Kepton mekar dimana mayoritas Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Sultra Kepulauan akan memisahkan diri dari Provinsi Sulawesi Tenggara keculai Kabupaten Muna. Nantinya mungkin saja “kawin paksanya” akan berubah jadi tokoh Sultra Daratan harus ambil wakilnya dari Muna. Atau mungkin sudah tidak ada lagi hal seperti ini yang menjadi sesuatu yang menarik ketika pesta demokrasi Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara.
Fahmy Fotaleno, SIP, M.I.Kom
Penulis adalah Praktisi Media, Dosen Jurnalistik Universitas Bina Sarana Informatika (BSI) Jakarta, dan Mahasiswa Porgram Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta