Kamis, November 21, 2024

Polemik PJ Bupati di Sultra, Mendagri: Mohon Maaf, Usulan Bukan Berarti Itu Hak Gubernur

JAKARTA, SATULIS.COM – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian akhirnya angkat bicara terkait polemik penunjukan dua penjabat Bupati di Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka adalah Sekda Buton Selatan (Busel) La Ode Budiman sebagai Penjabat Bupati Busel dan Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kemendagri, Bahri sebagai Penjabat Bupati Muna Barat (Mubar).

Sejatinya, kedua Penjabat tersebut sudah harus dilantik bersamaan dengan Walikota Baubau definitif, La Ode Ahmad Monianse dan Penjabat Bupati Buton Tengah (Buteng), Muhammad Yusuf pada, Senin (23/05/2022). Namun, Gubernur Sultra, Ali Mazi menolak untuk melantik dengan alasan penunjukkan kedua Penjabat tersebut tidak tercantum dalam usulan gubernur.

Pasca pelantikan Walikota Baubau dan Penjbaat Bupati Buteng, kemudian beredar kabar bahwa Ali Mazi telah sepakat untuk melantik Penjabat Bupati Mubar dan Busel. Direncanakan pelantikan digelar, Selasa (24/05/2022). Tetapi, Lagi-lagi proses pelantikan tidak dilaksanakan. Ali Mazi justru memilih untuk berangkat ke Jakarta seusai menghadiri sidang paripurna di DPRD Provinsi Sultra, Selasa (24/05/2022).

Menanggapi sikap Ali Mazi, Mendagri meminta maaf lantaran penunjukan penjabat tak semata-mata hak gubernur. Tito juga mengaku sudah melakukan komunikasi dengan Ali Mazi dan menjelaskan tentang mekanisme penunjukkan Penjabat kepala daerah Bupati/Walikota.

“Jadi saya kira itu mekanisme, khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu. Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur. Ini UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota,” kata Tito dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).

Tito menerangkan usulan penjabat kepala daerah dari Kemendagri diatur undang-undang dan asas profesionalitas. UU yang dimaksud adalah UU Nomor 10 Tahun 2016, yang memiliki spirit pelaksanaan pilkada serentak pada tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg.

Baca Juga :  Mardani: Penangkapan Ruslan Buton Melemahkan Kepercayaan Publik ke Negara

“Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan,” ujarnya.

Berdasarkan UU tersebut, lanjut Tito, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya. Sedangkan untuk bupati atau wali kota, penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.

“Nah, selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin, itu lebih dari 200 penjabat,” ucap Tito.

Tito mengatakan usulan penjabat kepala daerah dari Kemendagri mengacu pada asas profesionalitas. Kemendagri, sambung Tito, juga melakukan pengawasan potensi konflik dari penunjukan penjabat, dalam hal ini seperti yang terjadi di Sultra.

“Kita mempertimbangkan juga faktor-faktor yang lain. Nah, kemudian ketika banyak sekali konflik kepentingan, yang paling aman itu kalau didrop dari pusat, seperti misalnya di Sultra ada satu yang dari Kemendagri. Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional, dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis,” tuturnya.

Editor: Hariman

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles