Jumat, November 22, 2024

Menyoal Surat Gubernur Terkait Pemberhentian Sekda

Oleh : Rendy Saputra
(Praktisi Hukum)

Hiruk pikuk terkait pemberhentian Roni Muchtar dari jabatan Sekretaris Daerah Kota Baubau belakangan terus menjadi bahan perbincangan. Polemik mulai muncul sejak surat Walikota Baubau nomor 880/710/SETDA dengan perihal Penyampaian Pemberhentian Sdr. Roni Muchtar dari Jabatan Sekretaris Daerah yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri cq. Gubernur Sultra bocor ke publik.

Merespon surat Walikota Baubau, Gubernur Sulawesi Tenggara, Alimazi mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Walikota Baubau nomor 133.74/727 dengan perihal Peninjauan Kembali atas Pemberhentian Sdr. Roni Muchtar dari Jabatannya sebagai Sekretaris Daerah Kota Baubau.

Usai keluarnya surat Gubernur tersebut, Walikota Baubau dibeberapa media online merespon dengan menyatakan bahwa pihaknya tetap kukuh pada pendiriannya dan menganggap surat keputusan Walikota Baubau terkait pemberhentian Sekda telah sesuai ketentuan perundang-undangan.

Selain itu Wali Kota menyatakan bahwa surat Gubernur yang kemudian tersebar secara luas belum diterima oleh pihaknya secara resmi. Disisi lain,  pemberhentian Sekda dari jabatannya adalah murni persoalan habisnya masa jabatan sebagaimana ketentuan undang-undang bukan karena persoalan politik atau persoalan non hukum lainnya.

Dalam suratnya, Gubernur menganggap bahwa surat Walikota tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan perundang undangan olehnya itu pemberhentian sekda dianggap tidak memiliki keabsahan. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis juga tergerak untuk memberikan beberapa pendapat hukum yang mencoba menganalisis surat Gubernur Sultra tersebut.

Yang pertama terkait keberlakukan surat keputusan Walikota Baubau tersebut, penulis sejalan dengan ulasan seorang senior sekaligus dosen penulis yakni DR. Laode Muhaimin pada salah satu media online yang menyatakan bahwa Keputusan Walikota Baubau yang memberhentikan Roni Muchtar dari Jabatannya sebagai Sekda tetap sah sepanjang belum dicabut oleh pembuatnya (Walikota).

Hal tersebut berdasar pada asas contrarius actus atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Dengan kata lain, setiap keputusan TUN yang dikeluarkan wajib dibenarkan atas dasar hukum selama belum dibuktikan sebaliknya atau belum dinyatakan kebatalannya.

Lantas bagaimana dengan kedudukan Surat Gubernur kepada Walikota dengan perihal peninjauan Kembali atas pemberhentian Sekda dari jabatannya? Menurut hemat penulis, surat Gubernur tersebut tidaklah termasuk sebagai Keputusan Administrasi Pemerintahan sebagai mana dimaksud dalam UU Nomo 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pasal 1 angka 7 UU 30/2014 memberikan definisi definisi Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Baca Juga :  Pengawasan Partisipatif Masyarakat Dalam Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas

Salah satu ciri Keputusan Administrasi Pemerintahan yang dimaksud UU 30 2014 dapat dilihat dalam Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Setiap Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan. Mengacu pada Pasal 55 ayat (1) UU 30 2014 tersebut, maka Surat Gubernur tidak termasuk dalam Keputusan Administrasi Pemerintahan.

Surat Gubernur tersebut lebih tepatnya disebut sebagai Tindakan Administrasi Pemerintahan yakni perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (lihar Pasal 1 angka 8 UU 30/2014). Hal ini juga diperkuat dengan digunakannya dua istilah tersebut dalam UU 30/2014. Salah satunya ditegaskan dalam Pasal 6 UU 30/2014 ayat (1) bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.

Hubungan Hirarkis Gubernur -Walikota

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana relasi hubungan antara Gubernur dengan walikota? Bahwa pemerintahan Daerah merupakan cabang kekuasaan eksekutif yang berada ditangan Presiden. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden.

Konsekuensi dari hal tersebut, maka atasan Wali Kota adalah Presiden. Dalam hal ini Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada Menteri Dalam Negeri, seperti dalam pengangkatan dan pemberhentian Wali Kota.

Presiden sebagai penanggung jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan, juga melimpahkan kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan otonominya dalam koridor Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pelimpahan wewenang kepada Gubernur tidak diberikan secara absolut, tetapi diatur dengan undang-undang. Kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat dilihat dalam Pasal 91 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang terdiri dari 8 (delapan) ayat.

Selain itu, ditegaskan bahwa dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4) UU 23/2014, Menteri Dalam Negeri mengambil alih pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat (vide Pasal Pasal 92 UU 23/2014).

Mengacu pada Pasal 91 UU 23/2014, maka hubungan hierarkis antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagai atasan Wali Kota hanya sebatas dalam kewenangan-kewenangan yang diatur dalam Pasal 91 UU 23/2014. Adapun selebihnya, maka atasan Wali Kota adalah Presiden dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal ini merupakan sebagai konsekuensi logis dari kedudukan Menteri sebagai pembantu presiden.

Lantas bagaimana dengan kewenangan untuk membatalkan, mencabut, mengubah atau menunda keputusan Wali Kota?, merujuk pada Pasal 91 UU 23/2014, maka Keputusan Wali Kota tidak termasuk dari kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dengan mengacu pada 17 ayat (3) UU 23/2014, maka Pemerintah Pusatlah yang memiliki kewenangan membatalkan kebijakan Daerah yang tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.

Baca Juga :  Adakadabra, Antara Kasus Sadli dan Pers

Selain itu, istilah “Peninjauan Kembali” tidak dikenal dalam bahasa undang-undang di bidang pemerintahan daerah, administrasi pemerintahan ataupun bidang kepegawaian, bahkan di dalam peraturan perundang-undangan bidang pembentukan produk hukum.  Dalam perundang-undangan tersebut, hanya menyebut istilah Pengubahan, Pencabutan, Pembatalan, dan Penundaan yang dituangkan dalam produk berupa Keputusan yang salah satu cirinya memiliki alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Dengan demikian menurut hemat penulis, maka surat Gubernur Sultra kepada Wali Kota Baubau nomor 133.74/727 tanggal 10 Februari 2023 lebih tepat jika dipandang sebagai pembinaan dan pengawasan atau supervisi kepada Pemerintah Kota Baubau untuk melakukan peninjauan terhadap pemberhentian Sekda Kota Baubau dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam surat tersebut.

Langkah Pemakzulan Walikota

Dari diskusi yang berkembang ditengah masyarakat, terdapat wacana bahwa Surat Gubernur kepada Walikota tersebut berisi uraian ketentuan sejumlah peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh Walikota Baubau dalam penerbitan surat keputusannya. Sehingga menyeruak asumsi lanjutannya bahwa jika Walikota tidak mematuhi surat tersebut, maka Walikota Baubau dianggap tidak menjalankan peraturan perundang-undangan selurus-lurusnya sebagaimana sumpah jabatannya dan oleh karena itu Walikota dapatlah dimakzulkan.

Benar bahwa Wali Kota dapat dimakzulkan oleh DPRD. Tetapi terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan harus melalui tahapan politik yang cukup panjang mulai dari tingkatan DPRD dan pengujian hukum di Mahkamah Agung.

Lantas apakah Surat Gubernur Sultra nomor 133.74/727 tanggal 10 Februari 2023 yang memuat beberapa dasar hukum diduga dilanggar oleh Walikota Baubau yang dapat menjadi (setidaknya) acuan untuk menyebut Walikota Baubau telah tidak patuh dan taat pada sumpah jabatannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan selurus-lurusnya? Olehnya itu, penulis ingin mengomentari beberapa regulasi yang dijadikan acuan oleh Gubernur dalam surat a quo.

Pertama, Gubernur mengunakan ketentuan Pasal 14 PP No 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang masih merupakan bagian dari rezim Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah guna menegaskan bahwa perlunya izin Gubernur dalam pemberhentian Sekda yang mana seluruh ketentuan dalam PP Nomor 9/2003 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 362 angka 14 PP 11 tahun 2017).

Baca Juga :  Nyawa, Penjara, atau Jadi bagian Mafia

Kedua, Gubernur menggunakan peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan bahwa dalam hal PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin menduduki Jabatan Sekda yang memerlukan pembentukan Tim Pemeriksa, maka salah satu unsurnya haruslah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi.

Penggunaan Peraturan BKN 6/2022 tersebut menurut hemat penulis adalah peraturan yang mengatur mengenai Penegakan Disiplin bagi PNS sehingga tidaklah tepat digunakan dalam konteks pemberhentian Sekda kali ini. Sebab pemberhentian Sekda Kota Baubau bukan dalam konteks yang bersangkutan diduga melakukan pelanggaran disiplin melainkan karena berakhirnya masa jabatan beliau.

Ketiga, Gubernur menggunakan Pasal 8 Permenpan RB Nomor 62 Tahun 2020 tentang Penugasan PNS pada Instansi Pemerintah dan diluar Instansi Pemerintah yang menjelaskan tentang mekanisme penugasan yang pada intinya menjelaskan bahwa penugasan PNS pada instansi pemerintah dilaksanakan paling lama 5 Tahun dan dapat diperpanjang dengan persetujuan PPK Induk atas usul instansi yang membutuhkan.

Sepengetahuan penulis, Sdr. Roni Muchtar adalah merupakan PNS instansi Induk yakni Universitas Haluoleo (UHO) yang menjadi Sekretaris Daerah Kota Baubau melalui mekanisme open biding seleksi terbuka pada tahun 2017 yang lalu. Sementara pada ketentuan Pasal 13 Permenpan RB Nomor 62 Tahun 2020 a quo dinyatakan bahwa Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi PNS yang ditugaskan dalam jabatan pimpinan tinggi melalui seleksi terbuka. Sedangkan disisi yang lain jika mengacu pada Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, pada Pasal 12 ayat (1) disebutkan “Bagi PNS yang mengikuti seleksi terbuka pada instansi pemerintah lain dan memenuhi syarat untuk mengisi jabatan wajib dilakukan mutasi”.

Beberapa dasar hukum sebagaimana diatas justru menunjukkan bahwa Gubernur melalui suratnyalah yang telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yakni asas kecermatan/kewajiban berhati-hati (duty of care) serta asas kepastian hukum (legal certainty),  yang mana Badan atau Pejabat Administrasi Negara diharuskan untuk senantiasa bertindak hati-hati, untuk mempertimbangkan secara cermat pada waktu membuat keputusan dan/atau Tindakan TUN, dengan terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta hukum relevan, serta peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.

Pada akhirnya terlepas dari beberapa hal yang telah penulis kemukakan di atas, penulis berharap polemik pemberhentian jabatan Sekretaris Daerah Kota Baubau hendaknya dapat diselesaikan secara bijak dan dan professional untuk menjaga tata kelola pemerintahan yang baik. Dan tentu saja menghindari polemik secara terbuka sebagai mana saat ini dalam semangat menjaga sinergitas dalam pemerintahan. Semoga.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles