SATULIS.COM, BAUBAU – Masih ingat dengan polemik jati Sampolawa? Kasus ini kembali mencuat ke publik setelah kedatangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sultra, yang dipimpin langsung wakil ketua KPK, La Ode Syarif.
Kepada sejumlah media, La Ode mengatakan, sedikitnya ada tiga kasus yang ditangani Polda Sultra dan disupervisi KPK. Salah satunya dugaan suap penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton Selatan (Busel) kepada PT.Setya Jaya Abadi senilai Rp 5,2 miliar.
Diam-diam, rupanya Polda Sultra mencium aroma suap dibalik penerbitan IPK PT. Setya Jaya Abadi. Dugaan suap ini mulai masuk tahap penyidikan sejak 20 Maret 2018 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor SP.Sidik/9.a/III/2018/Dit.Reskrimsus dengan nomor laporan polisi LP/154/III/2018/Sultra/SPKT Polda Sultra tanggal 19 Maret 2018. Sejumlah saksi telah dipanggil dan dimintai keterangannya oleh penyidik Polda Sultra.
Bagaimana sebenarnya perjalanan kasus dugaan suap IPK jati Sampolawa dan siapa saja oknum yang terlibat didalam prosesnya? Berikut informasi yang dihimpun SATULIS.COM.
Polemik jati Sampolawa berawal sejak diturunkannya status kawasan hutan lindung atas rekomendasi Gubernur Sultra saat itu, Nur Alam menjadi Area Peruntukan Lain (APL) tahun 2011 lalu ke Kementerian Kehutanan dengan menerbitkan SK Nomor 456 tahun 2011 dari kawasan hutan konservasi menjadi APL.
Polemik berlanjut, aksi pencurian kian marak. Satu per satu jati tumbang, penegakan hukumnya pun tak bertaring. Pada tahun 2015 pasca Busel mekar dari Kabupaten Buton, melalui Pj Bupati pertama Mustari menerbitkan surat perintah kerja (SPK) nomor 522.21/1507 kepada PT Setya Jaya Abadi tertanggal 10 April 2015. Dasar surat itu atas rekomendasi Dinas Kehutanan Busel nomor 522.2/65 tanggal 9 April 2015 perihal pertimbangan teknis terhadap permohonan Try Suyono selaku Direktur PT Setya Jaya Abadi nomor 01/SJA/II/2015 tanggal 28 Februari 2015.
Tanggal 20 Juni 2015 Keputusan Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Busel nomor 110 tahun 2015 tentang pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada PT Satya Jaya Abadi yang ditandatangani atas nama Bupati Busel La Ode Hajarudin. Setelah kewenangan kehutanan diambil alih Pemprov, IPK kemudian diperpanjang hingga Juni 2017.
Terbitnya IPK PT. Setya Jaya Abadi oleh Pemkab Busel sempat berpolemik di meja hijau. Hingga berbuntut pada makelar kasus jati. Terungkap ada dana yang dikeluarkan PT Setya Jaya Abadi sebesar Rp 5,2 Miliar. Dana itu diserahkan PT. Setya Jaya Abadi kepada pihak ketiga, dalam hal ini RJR (Inisial) sebagai down payment atas perjanjian kerja IPK dengan volume lebih kurang 15 ribu meter kubik.
Kesepakatan itu tertuang dalam akte Perjanjian notaris Hamid Prioegi SH dengan nomor 82 tertanggal 20 April 2015. Lalu terjadi koreksi atas mekanisme pembayaran dana Rp 5,2 miliar dengan perjanjian nomor 116.
Dana tersebut dicairkan secara bertahap. Tahap pertama Rp 1,2 miliar dibayar tunai, sesaat setelah penandatangan perjanjian nomor 82. Tahap kedua sebesar Rp 1,5 miliar setelah penandatanganan perjanjian nomor 116. Tahap ke-tiga Rp 1,3 miliar diserahkan pada 29 April 2015 dan terakhir Rp 1,2 miliar sesaat setelah ditandatangani dan diserahkannya IPK ke-2.
Dana Rp 5,2 miliar inilah yang tengah dikejar Polda Sultra karena diduga mengalir dan ikut dinikmati para birokrat sebagai ‘upeti’ keluarnya IPK PT. Setya Jaya Abadi. Publik menanti tindaklanjut kasus ini. Apakah Polda Sultra yang disupervisi KPK dapat membuktikan adanya gratifikasi atau sebaliknya, mandek dan tak berarah. (Adm)