Sabtu, November 23, 2024

Tampilkan Tari Kolosal, Ini Makna Tiga Tariannya

PASARWAJO – Sejak dilaksanakan pada 2013-2019, pagelaran Festival Budaya Tua Buton selalu menampilkan tiga tarian kolosal. Pada pagelaran tahun ini, tiga tarian yang ditampilkan yakni Tari Ponare, Tari Badenda dan Tari Alionda.

Apa sebenarnya makna dari tiga tarian yang ditampilkan itu, berikut penjelasannya.

1. Tari Ponare
Tari ponare menggambarkan aktivitas mempertahankan daerah dari gempuran musuh. Menggunakan peralatan perang berupa tombak dan perisai dari kayu yang berbentuk Limas, tari ini juga diselingi atraksi pencak silat antara dua orang.

Gerakan tari ini adalah tarian perang.Nilai moril yang tercermin dari Tari Ponare adalah sebagai gambaran bahwa masyarakat Buton siap sedia membela negara dan menghargai pahlawannya.

Tarian ini juga mengandung makna bahwa para pemuda Buton merupakan pemuda yang gagah berani, tanggung jawab, pekerja keras, dan berani membela kebenaran.

 

2. Tari Badenda
Tari Badenda melambangkan gerak kegembiraan bagi masyarakat Buton. Tariannya bergerak lincah sambil mengikuti nyanyian dan suara gendang.

Tarian ini merupakan perlambang rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki dari sang pencipta. Badenda dipengaruhi Tari Melayu yang dibawah oleh pelaut-pelaut Buton asal Binongko, yang kemudian diharmonisasi dengan alam dan kehidupan masyarakat Buton.

Tari Badenda mencerminkan kegembiraan masyarakat nelayan Buton asal Binongko dalam menghadapi terjangan ombak demi menghidupi keluarga. Tradisi ini menjadi sarana berkumpul keluarga dan juga menciptakaan kebersamaan yang akrab dalam hidup bermasyarakat.

Tari Badenda biasanya diadakan oleh anak muda untuk menciptakan nuansa kekeluargaan pada momen-momen tertentu seperti Idulfitri, Hari Raya Kurban, termasuk untuk memeriahkan acara pernikahan, wisuda, maupun kumpul-kumpul keluarga. Lagu-lagu yang biasanya dibawakan adalah lagu-lagu yang lincah dan semangat.

 

3. Tari Alionda
Pada masa lampau sekitar lampau 1691 Kulisusu masih merupakan daerah pemukiman yang kedudukannya hidup secara terpisah-pisah tanpa seorang raja yang ada hanya kepala suku.

Baca Juga :  Sekda Buton Lantik Pj. Kades Wakalambe dan PAW BPD Boneatiro

Kondisi semacam ini memungkinkan pertahanan dan keamanan masyarakat kulisusu pada waktu itu boleh dikata tidak ada, sebab sifat kegotongroyongan masyarakatnya pun tidak tampak bahkan karena lebih senang tinggal sendiri dan mengelola tanamanya.

Keadaan demikian merupakan pola hidup tradisional masyarakat pedesaan dimana saja khususnya Kulisusu. Kedatangan bangsa Belanda di Maluku tersebar di pelosok-pelosok Maluku yang juga sampai di daerah Tobelo yang merupakan awal awal terjadinya kekacauan di Kulisusu dan terbentuknya seni Tari Alionda.

Dengan terbentuknya organisasi sosial masyarakat Kulisusu membawa mereka untuk saling membawa hubungan komunikasi yang menciptakan suasana harmonis sehingga dini alam suasana seperti kesenian Alionda itu mulai tercipta.

Namun pada masa itu kesenian alionda ini belum bernama alionda permainan ini belum punya nama khusus tapi masih merupakan permainan atau pekaraa raha.

Seringkali bila selesai panen mereka selalu berkumpul dan berpegangan tangan yang di ayun-ayunkan sambil bernyanyi atau mekabanse. Lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan.

Alionda awalnya menghilangkan rasa capek, lelah dan lapar, mereka kemudian mulai menghibur diri dengan bernyanyi dengan lagu menceritakan tentang keadaan mereka yang sangat menyedihkan sambil terus berpegang tangan untuk membantu satu sama lain mereka terus bernyanyi, sepanjang jalan.

Didalam lagu mereka tersebut mulai di sebut-sebut nama alionda. Kata alionda merupakan bahasa Kulisusu yang digunakan oleh nenek moyang masyarakat kulisusu pada masa lampau yang mengartikan kebersamaan dan kegotongroyongan.

Dalam masa pemerintahan Raja La Ode-ode mulailah berdatangan para mubaliqh Islam yang antara lain dikenal dua tokoh yang langsung datang dari arab yakni Syek Saldi Rabba atau Syarif Muhammad Al Idris yang mendasarkan ajarannya dengan syariat Islam sebagai landasan pertama dan jalur ilmu tersebut terikat sebagai jalur kedua.

Baca Juga :  Pemkab Buton Canangkan Pelayanan Keluarga Berencana MKJP

Saluran islamisasi yang digunakan pada saat mengembangkan Islam adalah rabba (biola) sebagai jalur kesenian kemudian masyarakat Kulisusu menemukan gendang–gendang, gong dan lain-lain. Kemudian alat-alat ini digunakan pada acara-acara Alionda.

Kesenian ini sudah mulai mendapat perkembangan yang tadinya permainan Alionda tanpa di iring alat kesenian. Setelah ditemukannya gendang, gong dan yang lainnya mulai diiring alat-alat tersebut. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles