SATULIS.COM, BAUBAU –Muh Ibnu Fajar Rahim, pria asal kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) berhak menyandang titel Doktor di Bidang Ilmu Hukum. Jumat (18/10/2019) di Gedung Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Gelar doktor itu disandangnya, setelah mempertahankan disertasinya di hadapan para promotor dan penguji dengan judul disertasi, Kewenangan Kejaksaan Mewakili Pemerintah dalam Mengajukan Permohonan Pembubaran Partai Politik di Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga menjadi salah satu doktor termuda di Kejaksaan Republik Indonesia (RI).
Ibnu sapaan akrabnya menyampaikan bahwa disertasi ini merupakan perwujudan kegelisahannya melihat realitas penegakan hukum terhadap partai politik hanya menyentuh orang perorangan sebagai naturlijk person tanpa menyentuh partai politik sebagai badan hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun pertanggungjawaban konstitusional di MK.
“Realitas tersebut semakin pelik dengan Kejaksaan belum meresponsif keberlakuan hukum Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan jo. Pasal 68 ayat (1) UU MK jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK 12/2008. Yang menyebutkan satu-satunya legal standing pemohon pembubaran partai politik adalah pemerintah pusat yang diwakili Presiden dapat menugaskan Jaksa Agung untuk mewakili pemerintah dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik di MK,” katanya, Jumat, (8/11/2019).
Lebih lanjut menurut Ibnu, disertasinya tersebut menghadirkan beberapa kebaharuan yang ditujukan untuk memperkuat kewenangan Kejaksaan tersebut serta mengkriminalisi partai politik yang terbukti melakukan tindak pidana melalui pengurusnya.
Pertama, kewenangan Kejaksaan mewakili pemerintah dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik merupakan kewenangan integratif (integratif authorithy theory). Yakni kewenangan yang mengintegrasikan fungsi-fungsi peradilan pidana dengan fungsi-fungsi dalam peradilan tata negara di MK.
Karena dasar pengajuan permohonan di MK, kata dia, adalah putusan pengadilan yang menyatakan partai politik sebagai badan hukum telah melakukan kejahatan extra ordinary crime secara terstruktur, sistematis, dan massif melalui pengurus-pengurusnya.
Menurutnya, hanya Kejaksaan yang mampu mengintegrasikan fungsi-fungsi peradilan pidana melalui Jaksa Intelijen, Jaksa Penyelidik, Jaksa Penyidik, serta Jaksa Penuntut Umum dengan fungsi-fungsi peradilan tata negara di MK.
Yakni fungsi pemohon oleh Jaksa Agung dan Jaksa Pengacara Negara, fungsi eksekusi oleh Jaksa Eksekutor dan Jaksa Pemulihan Aset yang notabene merupakan spesialisasi fungsi yang tidak dimiliki lembaga penegakan hukum lainnya.
Kedua, legal reasoning dasar hukum kewenangan integratif oleh Kejaksaan tersebut berdasarkan penafsiran secara gramatikal sistematis terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan jo. Pasal 68 ayat (1) UU MK jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK 12/2008.
Objek pembubaran partai politik di MK adalah pembatalan status badan hukum partai politik yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat tata usaha negara sehingga embrio pengesahan status badan hukum partai politik merupakan keputusan tata usaha negara.
Dengan demikian, Kejaksaan di bidang tata usaha negara dengan surat kuasa khusus dalam mewakili pemerintah mengajukan permohonan pembubaran partai politik di MK.
Ketiga, untuk menarik pertanggungjawaban pidana maupun konstitusional, badan hukum partai politik dapat menggunakan doktrin pertanggungjawaban korporasi dan badan hukum. Yakni doktrin strict liability, vicarious liability, identification karena partai politik memiliki DNA yang sama dengan korporasi dan badan hukum.
“Doktrin-doktrin tersebut akan dikombinasikan dengan metode pembuktian triple of shet,” ucapnya.
Disebutkannya, pertama, membuktikan adanya meeting of mind dari masing-masing pengurus partai politik yang melakukan tindak pidana untuk dan atas nama partai politik sebagai unsur subyektif.
Kedua, membuktikan adanya perwujudan kerjasama meeting of mind pengurus partai politik yang melakukan tindak pidana secara kolektif dan bersama-sama sebagai unsur objektif, serta ketiga membuktikan adanya akibat dari meeting of mind tersebut yang berdampak massif terhadap negara.
“Sehingga, oleh karena Kejaksaan melalui Jaksa Agung mempunyai kewenangan integratif mewakili pemerintah mengajukan permohonan pembubaran partai politik di MK. Maka Jaksa Agung tidak boleh dari Partai Politik demi independensi dan kemandirian dalam melaksakan kewenangan integratif tersebut,” terangnya.
Sebagai informasi, Ibnu yang lahir di Ujung Pandang tanggal 30 Oktober 1991 sekarang ini menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Penuntutan Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, yang baru berusia 27 tahun. Sehingga Ibnu menjadi Doktor termuda di Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam perjalanan karirnya, lulusan berprestasi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Tahun 2013 ini pernah menjadi Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah memperingati Hari Bhakti Adhyaksa Ke-54 Kejaksaan RI Tahun 2014. Juara Harapan II Pegawai Tata Usaha Berprestasi pada SIDHAKARYA Kejaksaan RI Tahun 2015.
10 besar Jaksa Terbaik pada Pendidikan Dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan 74 Gelombang II Tahun 2017. Serta Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa Ke-58 Kejaksaan RI Tahun 2018.
Para pihak dan kerabat yang hadir pada ujian promosi doktor menyampaikan selamat kepadanya dan berharap semoga pencapain ini membawa manfaat bagi masyarakat dan pembangunan hukum di Indonesia. (Adm)