SATULIS.COM, Buton Selatan – Pakar Hukum Tata Negara Sultra, DR Laode Muhaimin SH, LL.M, menilai Keputusan DPRD Buton Selatan membentuk panitia khusus (Pansus) hak angket atas penyelidikan penggunaan dugaan ijazah palsu milik Bupati Buton Selatan cacat hukum.
menurutnya, pengambilan hak angket dan pembentukan pansus telah melanggar peraturan pemerintah nomor 12 tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib DPRD Provinsi, kabupaten dan kota yang menjadi patron para wakil rakyat dalam menjalankan amanah rakyat. Pansus tersebut juga telah menodai tatanan hukum dinegara Kesatuan RI dengan tidak mengindahkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang menjadi produk hukum.Ia menguraikan selama kasus ini tidak ada novum baru. Maka tidak bisa lagi di perdebatan.
“Kita harus hormati apa yang telah dikeluarkan oleh Polda Sultra dalam melihat kasus dugaan ijazah palsu milik Bupati Buton Selatan, La Ode Arusani ini dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Secara tidak langsung kasus ini dianggap selesai dan tidak perlu diperdebatkan lagi selama tidak ada novum baru,” urainya.
Ia menjelaskan, dalam undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, ada beberapa hal yang dapat membuat seorang kepala daerah dimakzulkan, diantaranya dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah, melanggar larangan bagi kepala daerah, serta melakukan perbuatan tercela.
Lebih jauh dijelaskan, pada konteks undang-undang 23 tahun 2014, pemberhentian kepala daerah tentu berbicara tentang kebijakannya yang diduga bertentangan dengan undang-undang.
“Jadi bukan berbicara pada ranah pidana umum yang menjadi kewenangan penuh pihak kepolisian, bukan lembaga legislatif, ” kata doktor Universitas gajah mada (UGM) dengan disertasi pemberhentian kepala daerah di NKRI ini.
Menurutnya, meski dalam perjalanannya DPRD kabupaten Busel tetap ngotot memaksakan diri dalam penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana dalam ranah pansus dewan, diyakini pihaknya menjadi hal yang sia-sia. Bahkan menurutnya, produk yang dihasilkan nanti oleh pansus tersebut adalah ilegal.
“Bagaimana mungkin menghasilkan produk yang legal sementara dalam pembentukkannya saja sudah tidak memenuhi tata tertib (tatib) dewan, ” kata pengajar di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau ini.
Ditambah lagi, Ketua DPRD kabupaten Busel yang harus memimpin paripurna masih menjalankan tugas negara diluar daerah. Apakah ada mandat dari Ketua DPRD untuk menggelar paripurna itu. Dan yang harus dipahami bersama bahwa keputusan DPRD itu adalah kolektif kolegial.
Yang menjadi pertanyaan pihaknya justru alasan pada konteks desakkan massa yang memaksa DPRD Kabupaten Busel menggelar rapat paripurna pembentukan pansus disaat Buton Selatan tidak mengalami kegentingan. Bahkan tanpa berpikir panjang para wakil rakyat Kabupaten Busel mengamininya dengan menggelar apa yang menjadi tuntutan peserta aksi.
“Memang apa yang menjadi tuntutan masyarakat itu harus ditindak lanjuti. Namun demikian, para wakil rakyat harus meminta waktu untuk kemudian didiskusikan bersama anggota lain dengan melihat dan mempertimbangan tupoksi yang melekat ditubuh DPRD kabupaten Busel. Jangan karena ini desakkan masyarakat membuat DPRD Kabupaten Busel langsung mengambil sikap tanpa berpikir panjang,” tutupnya.
Ia menyayangkan upaya DPRD Kabupaten Busel dalam mengambil sebuah keputusan yang gegabah. Apalagi keputusan tersebut bergantung pada nasib seseorang yang telah dinyatakan selesai penyidikannya oleh pihak kepolisian Polda Sultra. Maupun Polres Mimika Polda Sultra. (adm)
Peliput : Alan M