SATULIS.COM, Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu meningkat 2,58 persen, yaitu naik dari 4.926 menjadi 5.053. Pelaku asing tercatat melakukan jual bersih sebesar Rp8,09 triliun.
Indeks saham yang hijau selama 5 hari berturut-turut pada perdagangan pekan lalu seakan bergeming dengan sentimen negatif penolakan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) oleh kalangan buruh.
Analis Pasar Modal Riska Afriani menilai hal tersebut dikarenakan investor cenderung melihat implementasi dan manfaat UU Cipta Kerja dalam jangka panjang.
Namun, ia tak memungkiri gejolak penolakan turut mewarnai pergerakan IHSG dalam jangka pendek. Sebab, menurut dia, jika tak diwarnai aksi penolakan, potensi pertumbuhan IHSG bakal lebih kencang dari saat ini.
“Indeks sendiri masih cukup kuat, jadi saya kira saat ini investor melihat ke jangka panjang. Dalam jangka pendek, (penolakan) membuat pergerakan IHSG relatif terbatas, penguatan tidak bisa sekencang yang diharapkan,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/10).
Meski pasar menyambut positif UU Cipta Kerja, namun ia mengingatkan penolakan tersebut masih akan menjadi sentimen negatif hingga beberapa pekan ke depan karena faktor ketidakpastian.
Ketidakpastian yang dimaksud Riska, yakni tuntutan berbagai kalangan agar UU Cipta Kerja dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (Perppu), termasuk juga uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan tidak akan memenuhi tuntutan tersebut, namun ia menilai selama masih ada penolakan massa, indeks masih akan dihantui isu pembatalan UU.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi meminta kalangan yang tak puas dengan UU Ciptaker untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (9/12) lalu.
Jokowi menilai penolakan dilatari oleh disinformasi mengenai substansi dari UU, juga hoaks yang beredar di media sosial.
Karenanya, ia membantah soal isu yang dikeluhkan seperti penghilangan hak cuti pekerja, penghapusan ketentutan Upah Minimum Provinsi (UMP), jaminan kesejahteraan, hingga kemudahan perusahaan untuk melakukan PHK.
Dengan alasan tersebut, dia enggan menerbitkan Perppu, meski penolakan terjadi secara massif di berbagai daerah.
Lebih lanjut, Riska menyebut investor akan memantau kelanjutan dari tuntutan terkait. Jika akan terjadi demonstrasi lanjutan, bisa jadi indeks bakal tertekan karena tujuan UU, yaitu kemudahan masuknya investasi asing ke RI terancam tak terwujud.
“Malah sekarang menjadi kekhawatiran, dalam hal ini tuntutan menunda atau membatalkan UU Omnibus Law. Jadi, harus melihat seberapa jauh massa akan melakukan demo lanjutan,” imbuhnya.
Hal lainnya yang perlu diwaspadai, kata Riska, yaitu potensi melonjaknya angka positif covid-19 akibat kerumunan massa di tengah aksi demonstrasi yang berlangsung selama pekan lalu.
Melonjaknya angka positif covid-19 akan menjadi rapor buruk Indonesia dan membuat pasar modal dalam negeri kian tak menarik bagi investor. Sehingga, dikhawatirkan dana asing akan mengalir keluar kian deras.
Dia bilang yang diharapkan investor saat ini adalah sikap tegas pemerintah untuk menenangkan berbagai pihak dan menghindari potensi pecahnya konflik yang lebih besar. “Harus ada tindakan tegas untuk menenangkan semua pihak,” saran dia.
Dari analisisnya, Riska menilai saham-saham yang tak banyak terpengaruh ialah saham berkapitalisasi besar atau lapis satu, khususnya, di sektor perbankan dan konsumer.
Untuk sektor perbankan, Riska merekomendasikan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau BMRI. Bercermin dari penguatan yang terjadi sepanjang perdagangan pekan lalu, Riska menyimpulkan bahwa BMRI termasuk salah satu saham yang kebal UU Ciptaker.
Pada pekan lalu, BMRI mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,73 persen, bertengger di posisi 5.550. Ia melihat BMRI potensi naik hingga ke level 6.000. Namun, waspada aksi ambil untung (profit taking) karena telah terjadi penguatan signifikan.
“BMRI bisa (menjadi pilihan), tapi beli di kisaran 5.200-5.450 dengan strategi buy on weakness (beli di harga rendah). Potensi atau harga target BMRI di level 6.000,” kata dia.
Saham perbankan lainnya yang masuk dalam radar Riska yakni PT BCA Tbk atau BBCA. Alasannya, karena terjadinya tren balik arah, sepanjang pekan lalu saham naik sebesar 4,9 persen, menyentuh Rp28.875 per saham.
Ia menilai emiten masih akan melanjutkan penguatan, sehingga ia memasang harga target di 31 ribu dengan saran beli di kisaran 28.500-28.900.
Sementara, untuk sektor konsumer, dia memilih saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Saham, menurut dia, masih cocok dikoleksi dengan batasan harga 8.100. Ada pun harga target terdekatnya yakni di 8.400.
Lebih lanjut, saham-saham pilihan lainnya yang dapat diperhatikan, yaitu sektor pertambangan, khususnya batu bara. Pasalnya, ia menyebut permintaan ekspor komoditas tersebut masih tinggi, khususnya ke pasar China.
Oleh karena itu, ia melihat potensi penguatan. PTBA dan ADRO disebutnya sebagai dua saham yang dapat dipantau investor.
“Secara keseluruhan saya melihat potensi penguatan tapi cenderung terbatas, potensi untuk level resistance IHSG pekan ini di 5.127 dan level support di 5.006,” katanya.
Berkah La Nina
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya menyebut bahwa anomali iklim La Nina akan menjadi pendongkrak bagi sektor perkebunan kelapa sawit.
Setidaknya, ada dua faktor yang mendasari analisisnya. Pertama, La Nina melanda di tengah rendahnya stok minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Kedua, peningkatan curah hujan yang melanda di Asia Tenggara, rumah bagi produsen utama CPO, akan menekan jumlah produksi yang berujung pada kenaikan harga komoditas.
Kedua faktor tersebut membuat dia merekomendasikan saham-saham di sektor perkebunan, seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
“La Nina datang saat persediaan kelapa sawit sedang rendah, (sehingga) harga CPO dan minyak kedelai diperkirakan terus naik,” kata Hari seperti dikutip dari risetnya.
Seperti dikonfirmasi oleh Biro Meteorologi AS (NOAA) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), La Nina diperkirakan mencapai intensitas moderat hingga akhir tahun nanti.
La Nina diprediksi menyapu hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Sumatera. Peningkatan curah hujan diperkirakan terjadi dari Oktober hingga Februari 2021 mendatang. (Adm)