SATULIS.COM, BUTON SELATAN – Proyek penimbunan dermaga Ferry di Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton Selatan (Busel) oleh PT Gaya Bakti Jaya, disoal. Material timbunan yang digunakan disebut Ilegal. Hal itu diungkapkan oleh salah satu warga pemilik izin penambangan, La Ode Tarmin.
Kepada awak media, Tarmin mengaku bila dirinya telah memutuskan kontrak kerjasama dengan pemilik lahan serta semua pihak dalam aktifitas penambangan dan pengangkutan material tersebut. Artinya, aktifitas yang dilakukan saat ini ilegal.
“Pemutusan kontrak itu sejak 25 desember 2021 lalu. Nah sejak tanggal itu, mereka tidak punya izin aktifitas. Artinya itu ilegal, dan itu pidana,” beber La Ode Tarmin, Jumat (28/01/2022).
Dalam surat yang ditujukan kepada PT Gaya Bakti Jaya tersebut, La Ode Tarmin menuliskan empat poin alasan dirinya membatalkan perjanjian kerjasama itu. Pertama, dalam penggunaan anggaran yang dikelola pihak perantara, La Ode Agus, tidak transparan.
Alasannya, dana transfer pembelian dari pihak perusahaan kontraktor tidak masuk ke rekening perusahaan penyuplai melainkan ke rekening La Ode Agus, yang notabenenya bukan pemilik izin.
“Terakhir, saya bahwa, saya akan melaporkan saudara Agus ke pihak kepolisian terkait dugaan pemalsuan dan penipuan dokumen serta pencemaran nama baik,” ungkapnya.
Berangkat dari surat itu, ia mengaku telah melaporkan perkara tersebut di polres Buton sejak tanggal, 27 desember 2021. “Sekarang saya masih menunggu panggilan pihak kepolisian,” tuturnya.
Menanggapi hal itu, La Ode Agus, mengaku telah mengklarifikasi laporan aduan tersebut di Polres Buton melalui unit tindak pidana tertentu (tipiter). Al hasil, aduan itu ada.
“Memang ada aduannya. Tapi saya sudah tunjuk pengacara untuk melaporkan kembali saudara La Ode Tarmin. Sebab laporan itu saya anggap mengada-ngada,” kata La Ode Agus ketika dikonfimasi awak media melalui sambungan telponnya, Jumat (28/01/2022).
Terkait hubungan kontrak kerjasama antara PT Gaya Bakti Jaya dengan pihak penyuplai atas nama, La Ode Tarmin, lanjutnya, dirinya mengakui itu. Namun, dalam pelaksanaan dirinya merasa ditipu. Sebab izin penambangan milik La Ode Tarmin itu di Kecamatan Batauga. Sementara aktifitas penambangan dilakukan di Kecamatan Sampolawa.
“Selain itu, saya juga dimainkan diharga bahan. Pada akhirnya saya tidak dapat apa-apa dari hasil pemuatan ditongkang pertama dan kedua,” kesalnya.
Saat ditanya soal legalitas pemuatan dan aktifitas penambangan saat ini, dirinya tak menampikan bila semua itu tak memiliki izin alias ilegal. Namun, bila aturan itu ditegakan maka takan ada pembangunan di daerah. Pasalnya, hingga kini tak ada izin resmi penambangan di jazirah Buton Selatan bahkan kota Baubau.
Kendati ilegal, tambahnya, dirinya tetap menjalankan kewajibannya dalam hal ini membayar pajak.
Terkait dengan lokasi pengambilan material, kita sudah buat SPPL. Kemudian kita melapor ke pihak terkait. Makanya kita jalankan sekarang karena kita sudah koordinasi. Nah, setiap keberangkatan kita laporkan kemudian kita bayar pajaknya di kantor pajak. dari dasar ini kapal ini diberangkatkan,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, penanggungjawab perusahaan, PT Gaya Bakti Jaya, Risaldi mengaku, bila perusan penyuplay material saat ini memiliki izin resmi alias legal. Ia juga mengaku bahwa telah memutuskan kontak kerjasama dengan pemilik izin sebelumnya, La Ode Tarmin lantaran izin yang dikantongi ilegal.
“Jadi kami ambil bukan lagi sama Pak La Ode Tarmin, melaikan pak La Ode Agus. Semua izin yang dimiliki pak Agus itu baru dibuat semua. Jadi izin yang digunakan saat ini resmi semua,” bebernya.
Menurutnya, tak hanya pemuatan, La Ode Agus, juga mengantongi izin penambangan galian C. Bahkan seluruh izin tersebut telah diketahui kementerian. Jika itu ilegal pihaknya tak mungkin melakukan kontrak kerjasama.
Ketika ditanya nama perusahaan penyuplay, dirinya mengaku tak tahu. “Saya coba koordinasi dengan pak La Ode Agus dulu. Karena kalau masalah seperti ini harusnya mereka hadapi. Karena saya sudah berkontrak dengan mereka,” pungkasnya.
Diketahui, negara menguasai secara penuh segala kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu usaha untuk memanfaatkan kekayaan tersebut ialah penggalian pada sektor pertambangan.
Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Pertambangan), mengatur pertambangan sebagai sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kekayaan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan di Indonesia dilakukan oleh perusahaan tambang yang telah memiliki izin resmi. Akan tetapi tidak jarang juga ditemukan perusahaan tambang yang tidak memiliki izin resmi dan juga masyarakat sekitar yang melakukan kegiatan penambangan.
Hal ini jelas memiliki dampak terutama pada aspek lingkungan yang diakibatkan oleh tidak diperhatikannya aspek-aspek penting, sehingga akibat yang ditimbulkan dengan adanya pertambangan tersebut.
Sehubungan dengan adanya kegiatan pertambangan tanpa izin atas benda di tanah, maka pemerintah memerlukan suatu produk hukum berupa sebuah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin.
Adapun ketentuan di dalamnya, antara lain, Instruksi ke tiga ayat 1, yang menyatakan bahwa menghormati hak-hak ulayat dan kepentingan masyarakat adat setempat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pada ayat 2 menyatakan untuk mengarahkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha, termasuk kegiatan usaha pertambangan secara benar dan legal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila diperlukan melakukan tindakan represif secara hukum.
Dalam UU Pertambangan, selain mengenal adanya pertambangan tanpa izin (Illegal Mining) yang dianggap sebagai suatu tindak pidana, juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya, yang sebagian besar ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan, dan hanya satu macam tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat penerbit izin di bidang pertambangan. Macam-macam tindak pidana pada pertambangan adalah sebagai berikut:
Tindak Pidana Melakukan Pertambangan Tanpa Izin
Kegiatan penambangan dimana pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU Pertambangan yang berbunyi:
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Tindak Pidana Menyampaikan Data Laporan Keterangan Palsu
Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan data-data atau keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar sebenarnya sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat. Oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan dan sudah diatur secara khusus, terhadap pelakunya dapat dipidana denda dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,-.
Tindak Pidana Melakukan Eksplorasi Tanpa Hak?
Oleh karena melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman berdasarkan Pasal 160 ayat (1) UU Pertambangan dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,-. (Adm)
Penulis : Gunardih Eshaya