CATATAN : DENI DJOHAN
PENULIS ADALAH SEORANG JURNALIS
Sebagian orang masih menganggap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat penyiksaan para pelaku kejahatan atau kriminalis agar mendapat efek jerah akibat dari perbuatannya. Ketika seseorang telah resmi menyandang status narapidana (Napi) maka orang tersebut akan disejajarkan dengan hewan yang hidup tanpa kehormatan.
Tak pandang siapa dan kasus apa yang menjerat orang tersebut. Yang pasti, ketika telah menyandang sebagai napi maka dia telah siap menjadi santapan penyiksaan para polisi penjara. Tak hanya petugas, para napi lainnya juga tak ketinggalan mengambil bagian melakukan penyiksaan. Yang paling sadis ketika napi yang bersangkutan dijerat kasus perlindungan anak. Balsem panas level maksimal dicampur caberawit telah disiapkan khusus untuk di oles di bahagian batang nakal itu sampai air kenikmatannya keluar.
Semua itu benar terjadi ketika kita hidup dimasa tahun 90an hingga 2000an awal. Dimana saat itu lembaga pemasyarakatan masih disebut penjara. Seiring perubahan nama dan sistem dalam institusi tersebut, penyiksaan para napi hampir sudah tak pernah terjadi lagi. Para petugas lebih mengedepankan pembinaan ketimbang penyiksaan. Tersisa sedikit para petugas yang masih melakukan kekerasan terhadap napi dan tahanan. Itu pun dilakukan ketika napi tersebut ketahuan membuat pelanggaran berat yang kesekian kalinya.
Saat ini, masih sedikit orang yang mengetahui keadaan serta kehidupan para napi dan tahanan di dalam lapas. Sebagai alumni warga binaan, saya akan berbagai pengalaman terkait bagaimana kehidupan para warga binaan yang mendekam di Lapas kelas IIA Kota Baubau.
Bagi saya, Lapas adalah sebuah Negara di dalam Negara. Dimana terdapat rakyat, hukum dan pemerintahan yang khusus mengatur warganya. Kriteria itu telah memenuhi syarat untuk berdirinya suatu negara. Di negara ini, warganya diwajibkan taat dan patuh terhadap pemerintah dalam hal ini para petugas sipir.
Negara yang hanya berukuran kurang lebih 5000 meter persegi itu, fasilitas umum untuk kebutuhan warga hampir semua tersedia. Misalnya Rumah Sakit (klinik), Rumah Ibadah, pasar dan lain-lain. Bahkan dari pasar resmi sampai pasar gelap juga tersedia. Pasar gelap yang dimaksud meliputi penjualan barang-barang terlarang seperti barang elektronik dan narkoba.
Memang menjadi pertanyaan besar mengapa barang-barang terlarang itu bisa masuk ke dalam. Padahal untuk lolos dari pemeriksaan harus melewati tiga pintu yang dilengkapi dengan alat pendeteksi. Namun ada saja jalan sehingga barang-barang terlarang itu bisa masuk ke dalam. Untuk membongkar kasus ini dibutuhkan investigasi khusus serta kerjasama dengan pihak eksternal.
Dengan alasan ini, saya lebih memilih mengamati kehidupan para napi yang terlibat kasus pembunuhan, pemotongan, penikaman dan pencurian dengan kekerasan yang datang dari luar kota Baubau seperti, Wakatobi, Bombana, Buton Utara, Buton Selatan dan Buton Tengah. Khusus para pelaku kriminal di atas dapat dipastikan mereka adalah jawara di daerahnya masing-masing. Namun ditengah banyaknya jawara di negara itu, siapa kah jawara sesungguhnya?
Sebelum saya mengulas jawara sesungguhnya di negara itu perlu diketahui bahwa kehidupan di dalam jauh berbeda dengan kehidupan luar. Meski terdapat hukum yang mengatur secara tertulis dan mengikat para warga binaan, namun semua itu seakan hanyalah tulisan belaka. Keamanan dan kenyamanan selama berada di dalam bergantung pada diri kita sendiri. Dalam artian, yang bisa menjaga diri kita hanyalah diri kita sendiri. Kerugian akan kita alami ketika sedikit saja kita lalai.
Jangankan uang dan pakaian, jatah makanan pembagian yang dikemas dalam omprengan akan ludes sekejap mata apabila sedikit saja kita lalai menjaganya. Bagi mereka yang memiliki uang mungkin bisa saja membeli makanan pengganti yang ada di kantin berkedok koperasi ketika omprengannya habis disantap napi lain. Namun bagi napi atau tahanan yang datang dari luar kota dan jauh dari keluarga atau kerabat, dapat dipastikan ia tak akan makan di hari itu.
Tak ada gunanya mengeluh. Sebab tak ada yang prihatin dengan kondisi itu. Ketika kita mengeluh kehilangan, warga binaan lainnya hanya berkata, ikhlaskan saja. Penjara ini.
Istilah siapa kuat dia pemenangnya juga tak berlaku di negara ini. Orang kuat, bernyali dan nekatnya banyak berhamburan. Di negara ini, modal berani tidak cukup. Yang dibutuhkan berani-berani. Dalam artian, berani-berani mencuri, berani-berani menipu dan berani-berani berani. Begitu juga dengan modal kepintaran. Itu tidak cukup. Yang dibutuhkan harus pintar-pintar. Pintar-pintar melihat keadaan. Pintar-pintar melihat kesempatan dan pintar-pintar bersikap pintar. Satu lagi, pintar-pintar mencari muka pada petugas.
Dalam pengamatan saya, kebanyakan warga binaan yang terjerat kasus pembunuhan adalah jawara di daerahnya. Namun mereka akan sejajar dengan napi yang terjerat kasus pencurian atau perlindungan anak apabila tak memiliki besukan atau titipan uang dan makanan dari keluarga dan kerabat. Maklum, kasus ini terbilang hina karena hanya dilalukan oleh mereka yang lemah.
Di negara itu, uang Rp 1000 begitu sangat berarti. Kita bisa saja memerintah para jawara itu dengan modal sebatang rokok seharga Rp 1000. Bukan hanya uang Rp 1000, dengan sepotong ikan kita bisa menjadi raja. Mungkin seperti tidak mungkin. Namun seperti itu lah kehidupan nyata di negara mungil tersebut.
Untuk tetap mempertahankan nama baiknya, sebagian para jawara itu harus ikut bergabung dengan kelompok yang sudah terbentuk dari luar. Jika tidak maka mereka bakal terus menjalani hidup dengan status peminta-minta. Dari catatan saya, terdapat tiga kelompok besar yang terorganisir dengan baik di negara ini. Ketiga kelompok tersebut yakni kelompok 13, kelompok 27 dan 28. Kelompok ini disematkan berdasarkan dari nomor kamar yang mereka huni.
Tak jarang kelompok ini terlibat bentrok. Utamanya kelompok 13 dan 27. Namun bentrokan mulai berkurang bahkan tak pernah lagi terjadi setelah petugas memindahkan beberapa anggota kedua kelompok tersebut ke lapas Kendari.
Tak hanya sampai disitu, petugas juga kemudian menyebar para penghuni kamar 13, 27 dan 28 ke kamar-kamar lain dengan tujuan melemahkan kekuatan yang telah terbentuk. Apabila terdapat napi yang melanggar ketentuan itu maka napi tersebut bakal disanksi. Sanksi pertama di sel. Jika masih berbuat lagi maka sanksi berikutnya adalah pencabutan hak.
Pada kondisi lemah ini keberlangsungan hidup para jawara tersebut kembali bergantung pada diri mereka sendiri. Mereka harus mencari jati diri mereka ditengah banyaknya jawara yang ada. Tak ada pilihan selain melepas ego dan mau menjadi pengikut demi mendapat isi perut dan sebatang rokok.
Memang masih banyak napi jawara yang hidupnya bercukupan. Namun rata-rata napi tersebut adalah mereka yang berdomisili dalam wilayah daratan Pulau Buton. Besukan atau titipan uang dan makanan masih terbilang lancar. Dalam kasus di atas, jawara yang dimaksud rata-rata berasal dari luar pulau Buton.
Lantas, siapakah jawara sesungguhnya di negara itu?
Sebenarnya, tak ada bedanya negara itu dengan negara ini. Jawara sesungguhnya adalah mereka pemilik modal. Para kaum borjuis itu bisa melakukan apa saja dengan uang yang mereka miliki. Bahkan mereka bisa memerintah pemerintah untuk kepentingan dan kesenangan mereka. Mereka bak raja yang diagung-agung kan oleh semua orang. Begitu juga di negara ini. Para pemilik modal itu mampu mengendalikan penguasa meski mereka bukan penguasa.
Selama saya berstatus sebagai warga negara itu, saya banyak belajar arti kehidupan. Saya semakin tahu betapa mahalnya sebuah kebebasan. Pemahaman tentang betapa berartinya keluarga dan persahabatan terasa jelas ketika kita berada disitu.
Selain para jawara, terdapat pula warga binaan yang sebelumnya adalah pejabat. Ketika masih menjabat dulu, sanjungan dan pujian terus tercurah kepada mereka. Namun ketika resmi menjadi napi, jangankan membesuk atau menitip makanan dan uang, mengangkat telpon saja susah. Ada pun di angkat, yang diterima hanyalah ungkapan prihatinlah kemudian dilanjutkan dengan janji manis.
Mungkin para napi bersangkutan tak sampai terserang penyakit diabetes lantaran terus mengkonsumsi janji manis. Namun begitulah realita hidup sebagai warga binaan di era ini. Bukan penyiksaan fisik yang kini dialami melainkan melainkan penyiksaan batin. Tak sedikit para napi akhirnya menderita penyakit gangguan jiwa karena penyiksaan batin yang dialami.
Dari catatan saya, terdapat lima orang napi yang menderita gangguan jiwa. Dua diantarnya kini telah di kirim ke Rumah Sakit Jiwa Kendari. Satu diantara napi dikirim itu adalah kawan sekamar saya ketika pertama kali menginjakan kaki di negara itu.
Kisah ini hanyalah catatan kecil dari cerita kehidupan para warga binaan atau narapidana yang mendekam di negara itu. Masih banyak catatannya lain yang akan diulas nanti. Pada cerita itu, saya akan membahas soal hak warga binaan yang tak kunjung sampai ke pada mereka. Adapun sampai, itu sudah tak utuh lagi. Di kesempatan nanti, saya akan menyajikannya catatan tersebut berdasarkan data yang disertasi dengan fakta kejadian. ***