SATULIS.COM, BAUBAU – Tradisi kerja ikhlas sebagai landasan dalam perwujudan pembangunan Baubau menuju Kota budaya dengan kearifan lokalnya, mengantar Walikota Baubau, AS Tamrin terpilih sebagai penerima anugerah kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
As Tamrin tidak sendiri, penghargaan itu diterima bersama sembilan bupati/walikota lainnya.
Sebagai pusat eks Kesultanan Buton, Kota Baubau memang menyimpan segudang peninggalan sejarah. Mulai dari situs cagar budaya, adat istiadat hingga nilai-nilai luhur para pendahulu.
Didaulat sebagai benteng terluas di dunia oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), Benteng Keraton Buton mulai dibangun pada masa pemerintahan La Sangaji ke-III dari 1591-1597 dan selesai dibangun pada masa pemerintahan La Buke Gafarul Wadudu (1632–1645).
“Panjangnya 2.740 meter dengan luas lebih dari 23 hektar,” urai Dr AS Tamrin saat memaparkan presentasi anugerah kebudayaan PWI Pusat dihadapan dewan juri yang terdiri dari Nungki Kusumastuti, Agus Dermawan T, Ninok Leksono, dan Yusuf Susilo Hartono di kantor PWI Pusat, Jakarta, Kamis 9 Januari 2020 lalu.
Hadir dengan mengenakan baju kebesaran Kesultanan Buton, Dr AS Tamrin merinci kiat pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berbasis kebudayaan. Kata dia, berbagai program revitalisasi telah dilakukan guna melestarikan dan mengembangkan eksistensi benteng keraton Buton.
“Kita saat ini juga tengah berjuang agar benteng keraton Buton bisa menjadi salah satu situs warisan dunia. Ini menjadi target kedepan agar gema peninggalan luar biasa ini semakin dikenal masyarakat luas,” katanya.
Selain itu, berbagai event budaya juga turut dihelat. Event budaya dapat digunakan sebagai ajang promosi keragaman budaya mulai dari melestarikan pakaian adat, situs budaya, hingga eksistensi ritual adat yang sudah sejak lama dipertahankan leluhur hingga saat ini.
“Kesemuanya untuk membangkitkan dan menggunggah masyarakat Baubau untuk bersama mempertahankan keragaman budaya yang dimiliki. Event ini juga akan berimplikasi dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat utamanya para pengrajin, seperti tenunan, pakaian adat, serta pelaku ekonomi tradisional lainnya,” katanya.
Sejak dulu, masyarakat Baubau sebagai masyarakat eks Kesultanan Buton sudah memiliki landasan hidup yang diikat dalam falsafah “Sara Pataanguna”. Falsafah ini lalu diimplementasikan dalam budaya Polima yang kini digaungkan sebagai landasan pembangunan daerah.
Kata dia, budaya Polima memuat lima nilai dasar kehidupan dalam bermasyarakat. Diantaranya, Poma-masiaka (Saling menyangangi), Popia-piara (Saling menjaga), Pomae-maeaka (Saling menanggung rasa malu), dan Poangka-angkataka (Saling menghormati).
Keempat nilai dasar ini lalu diikat oleh falsafah Pobinci-binciki Kuli (Arti harafiah saling mencubit) sebagai kausa prima. Pobinci-binciki kuli dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan agar dipikirkan terlebih dahulu supaya tak menyakiti orang lain.
“Nilai-nilai ini saya sudah tuangkan dalam tulisan atau buku berjudul Polima, Gema Pancasila dari Baubau. Polima ini sebagai kristalisasi nilai Pancasila agar masyarakat bisa hidup secara rukun, aman dan damai,” katanya. (***)