Kamis, November 21, 2024

Mengungkap Tabir Bersandingnya Masjid-Baruga di Buton

*Sebagai Benteng Moral Dan Akidah
Selain terkenal dengan masyarakatnya yang religi, hingga kini adat istiadat juga masih sangat rekat dalam kehidupan bermasyarakat diKabupaten Buton.

Bahkan antara adat dan agama selalu seiring sejalan dan tak dapat dipisahkan. Tak heran, dimana ada Baruga, disitu pasti ada Masjid. Apa sebenarnya makna dan rahasia dibalik itu semua?

Selain terkenal sebagai penghasil aspal terbesar di dunia, kini Kabupaten Buton kian dikenal dengan keindahan alamnya. Mulai dari keunikan flora faunanya yang hidup dalam kawasan hutan Lambusango hingga kecantikan pantainya.

Bahkan setiap saat kita bisa menemukan Mandarin Fest diantara keindahan terumbukarang yang membentang sepanjang teluk Pasarwajo. Namun bukan keindahan alam yang ingin penulis bahas disini, melainkan menyangkut keterkaitan agama dan budaya.

Jika berjalan-jalan dipulau Buton khususnya di Kabupaten Buton, disetiap Kecamatan bahkan desa anda akan menemukan keberadaan baruga. Uniknya, setiap baruga yang dibangun pasti berdampingan dengan masjid. Coba saja pergi ke masjid keraton Buton, tepat disampingnya ada baruga yang dijadikan sebagai tempat pertemuan dan melaksanakan kegiatan-kegaitan adat.

Hal itu bukan tanpa sebab. Samsu Umar Abdul Samiun mengatakan, harus diakui bahwa agama merupakan bingkai kehidupan. Tapi juga harus diakui bahwa sebelum agama masuk, kita terlebih dahulu sudah mengenal adat istiadat.

Umar Samiun
Umar Samiun

“Seperti yang telah diketahui bersama, budaya adalah urat nadi bagi masyarakat Buton. Oleh karenanya dalam struktur adat Buton, orang tua kita dulu sudah pernah memberikan pesan isyarat kepada kita semua untuk dua hal ini juga, tentang agama dan adat. Dalam bahasa Wolio disebutkan seperti ini “Adati itu Kamia-miana agama, apoipi inamisi. Namisi itu kabuni-buniana Allah Taala, aharusu iakala, awajibu ikalelena qur’ani, amainawa ihadisina nabi,” ungkap Umar Samiun.

Baca Juga :  Mengulas Kehidupan Para Pembunuh Ditengah Para Pembunuh Di Lapas Kelas IIA Baubau, Siapa Jawaranya?

Artinya kurang lebih seperti ini “Adat itu bayang-bayang agama, dia bersemayam dihati/perasaan. Perasaan itu disembunyikan/rahasia Allah SWT,  harus rasional, tercantum dalam kitap suci Al-quran dan sebagaimana penjelasan dalam hadist nabi.

Adat adalah bayang-banyang agama, hal inilah kata Umar Samiun yang langsung diaplikasikan oleh orang tua di Buton, bukan sekedar kata tetapi langsung dimanifestasikan. Bisa dilihat sekarang antara baruga dan masjid selalu berdampingan. Hal itu akan ditemui diseluruh wilayah eks Kesultanan Buton. Dimana ada masjid pasti disampingnya ada baruga.

Umar Samiun memaparkan, Namisi itu Kabuni-buniana Allah Taala. Sesuatu yang disembunyikan oleh Allah dan bersemayam dihati kita yang paling dalam. Oleh karena itu adat nyaris tidak ada ukurannya. Akan tetapi juga dia harus difilter oleh rasionalitas kita.

“Kalau ada tradisi atau kebiasaan yang oleh akal kita tidak berdasarkan agama, maka adat itu tidak dibisakan, karena aharusu yiakala, awajibu ikalelena Qur’ani, amainawa ihadisina Nabi. Harus berakar pada ayat suci alquran dan kemudian sebagaimana penjelasan dalam hadist-hadist nabi. Itulah bentuk komitmen para orang tua kita yang juga dimanisfestasikan sekarang melalui perangkat adat bahwa masjid dan baruga adalah benteng moral bagi akidah dan ahlak kita,” jelasnya.

Biasanya kata Umar Samiun, bila ada orang datang kesuatu daerah, maka yang pertama kali dicari atau ditanyakan adalah Masjid. Itu karena masjid digambarkan sebagai benteng moralitas terutama bagi anak-anak. Namun bagi masyarakat Buton oleh para leluhur sekaligus didampingkan dengan tradisi adat istiadat.

Manifestasi kedua dari ungkapan Adati itu kamia-miana agama yaitu senantiasa duduk berdampingan dua perangkat yang mencerminkan dua benteng tersebut, yakni perangkat adat yang dipimpin oleh Parabela serta dimasjid oleh Imam ataupun Moji.

Baca Juga :  Soal Dana Eks Pengungsi Maluku, PN Jakpus Kembali Panggil Tiga Gubernur

Selain itu mereka yang menduduki jabatan pemangku adat maupun para moji di masjid adalah orang-orang yang dipercakan oleh masyarakat lingkungan sekitar. Oleh karenanya kordinasi diantara parabela dan imam senantiasa duduk dan tidak terpisahkan.

“Kepala daerah ada masa jabatannya. Sama juga dengan perangkat adat dan masjid ada waktunya. Akan tetapi diwaktu yang singkat itu menjadi usaha kita secara bersama-sama untuk mensumbangsihkan semua kemampuan berpikir kita. Kalau Bupati membangun daerah dan mensejahterakan masyarakat tentunya dalam koridor tugas-tugas seorang Bupati. Tapi kalau perangkat adat dan perangkat masjid, bagaimana membagun moralitas dan adat istiadat itu menjadi pegangan anak-anak kita,” jelasnya.

Menurut Umar Samiun, apa yang dilakukan sebenarnya adalah sebuah tradisi lama yang sudah secara turun-temurun terus dilakukan. Pertanyaannya, siapa yang suruh melakukan itu dan kenapa harus di ikuti? Dalam perangkat adat bahkan ada yang bertugas untuk melayani, ada yang diberi tugas sebagai moji dan sebagainya. Perangkat adat harus selalu siap mengikuti acara adat, disisi lain mereka harus meninggalkan pekerjaan lainnya bahkan keluarga. Padahal dalam menjalankan tugasnya sebagai perangkat adat tidak mendapat gaji.

Demikian jika terjadi suatu persoalan dalam kelompok masyarakat tersebut, tidak sedikit yang datang keperangkat adat ataupun imam guna menyelesaikan persoalan.

“Hanya kenapa dari dulu sampai sekarang masih kita ikuti bahkan dengan semangatnya. Kenapa itu, karena disitulah batasnya adat. Kabuni-buniana Allah Taala. Adati itu Kamia-miana agama, Apoipi inamisi, dia duduk didalam perasaan kita yang paling dalam. Ada sebuah kepuasan dan kebanggaan. Oleh karena itu tradisi yang sudah kita jalani selama ribuan tahun ini tidak ada yang menyuruh kita dan tidak ada seorangpun yang berani menghentikan untuk kita tidak lakukan, itu dia hebatnya,” ucap Umar Samiun. (Adm)

Baca Juga :  Pertahankan Warisan Leluhur, La Bakry Apresiasi Masyarakat

IKLAN

Latest Articles