Minggu, November 24, 2024

Buton Dimata Umar Samiun (Bagian IV)

*Konsep Trias Politik Telah Di Praktekkan

Berfungsi sebagai Undang-undang dasar, Kitab Murtabat Tujuh juga dijadikan sebagai acuan guna mengatur pembagian tugas dalam sistem pemerintahan dalam kerajaan/kesultanan Buton. Dimana pemerintahan Buton sejak zaman dulu telah menggunakan konsep Trias Politik.

Catatan : Gunardih Eshaya

Selain di era Sultan Murhum, peradaban Kesultanan Buton juga menunjukan kebesarannya dimasa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Ditangan pemimpin Sultan Dayanu Ikhsanuddin inilah lahir penggagas yang mencetuskan kitab Murtabat Tujuh (Undang-undang Kesultanan Buton) yang menjadi fondasi untuk mengatur tata kehidupan dan adat istiadat masyarakat secara menyeluruh.

Untuk bangsa Indonesia yang mengatur mengenai ketetapan itu disebut dengan Undang-undang dasar (UUD) 1945. Sama halnya dengan UUD, Murtabat tujuh juga memiliki pasal-pasal, jumlahnya ada 66. Namun ada juga yang menyebut Murtabat Tujuh memiliki 68 pasal. Terlepas dari 66 atau 68 pasal, namun yang menarik dalam kitab murtabat tujuh dibuat dengan tiga pendekatan.

Pendekatan yang pertama disebut dengan Salambi yang merupakan satu keputusan yang diambil pada ketetapan lalu diputuskan menjadi aturan yang kemudian diturunkan kemasyarakat untuk selanjutnya dipatuhi. Jadi bisa dikatakan leluhur masyarakat Buton sudah menerapkan sistem itu jauh sebelum dicanangkan oleh masyarakat moderen saat ini dengan sebutan top down.

Pendekatan yang kedua disebut Basarambi atau ketetapan yang diambil dari bawah ke atas kemudian diputuskan menjadi aturan dan diturunkan ke masyarakat. Ilmu moderen mengenal sistem itu dengan sebutan “Up down”. Sedangkan pendekatan yang ketiga dikenal dengan sebutan Dolango yang berarti pelindung dari seluruh ketetapan yang ada.

“Siapapun yang berani mengganggu gugat ketetapan yang sudah ditetapkan itu, maka sudah pasti yang kena getahnya pertama adalah lipu (daerah/negara) kemudian berimbas pada masyarakat. Makanya pada zaman dulu ketika aturan sudah ditetapkan  tidak satu orang pun berani membongkar itu karena akan berimbas pada turunannya,” kata Samsu Umar Abdul Samiun.

Baca Juga :  Si Uda, Manusia Ikan Dari Wakatobi. Menyelam dan Berjalan Didasar Laut Tanpa Alat Bantu

Pembagian tugas dalam sistem pemerintahan juga diatur dalam Kitab Murtabat Tujuh. Baik yang dikenal saat ini mengenai tugas dan kewenangan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahkan dalam proses pelantikan sultan juga dikenal dengan yang namanya sumpah jabatan.

Berdasarkan referensi yang diperoleh, sumpah jabatan bagi seorang sultan berbunyi “Ingko La Ode (hey kamu La Ode) Pepu Oeyo Syi (mulai hari ini) Atoangkamo Mbali Baana Sara (Diangkat menjadi kepala pemerintahan) Ande Naile Naepua (Apabila dikemudian hari) Osalahkanakea Kambosuna Manga Mia Bhari (Kau salah gunakan kepentingan orang banyak/rakyat) Ande Opesua Yikoo Atompako Oulo (kalau kau masuk hutan dipatok ular) Ande Osapo Yitawo Abhembaruko Mungiwaa (Kalau kau ke laut  dimakan hewan laut) Ande Osapo Yiuwmala Akandeko Buaya (Kalau kau ke Sungai dimakan buaya) leemu walakamu La Ode (sampai turunan ke tujuhmu La Ode).

Entah benar atau tidak mengenai redaksional sumpah jabatan dalam proses pelantikan sultan, namun setidaknya hal itu patut menjadi harta kekayaan yang dimiliki masyarakat Buton dimanapun berada. Olehnya itu penting untuk dilakukan penelitian mengenai hal ini kedepan, kemudian dipertahankan sebagai warisan leluhur masyarakat Buton seutuhnya yang mungkin tidak didapatkan dibelahan bumi manapun dimasa itu.

“Salah satu bukti ketetapan Murtabat tujuh masih terlindungi oleh Dolongo sampai dengan saat ini bisa dilihat dari sara kidhina (ulama) yang ada diperangkat masjid agung keraton. Terbukti sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang berani menjadi imam atau khatib di Masjid Agung Keraton selain mereka yang sesuai dalam ketetapan yang sudah ditetapkan,” tutur Umar Samiun.

Penelitian mengenai sejarah buton ini penting untuk mempersatukan seluruh masyarakat Buton secara menyeluruh. Sehingga tidak ada lagi buton yang terkotak-kotak apalagi sampai tidak mengakui bagian dari Kesultanan Buton.

Baca Juga :  Bongkana Khopo, Ritual Adat Ungkapan Rasa Syukur Masyarakat Kapontori

Padahal leluhur kita meninggalkan Buton ini cuman satu, tidak ada Cia-cia, Muna, Wakatobi atau Pancana. Semuanya sama, dimana pun berada pasti menyebut asalnya dari Buton. Buton seutuhnya terbentuknya dan berdiri sendiri melambangkan kebesarannya yang terdiri dari empat barata.

Olehnya itu kata Umar Samiun, dari beberapa reverensi yang di dapatkannya, nama Buton sudah ada sejak zaman kerajaan, sehingga tidak benar jika nama Buton diambil dari kata Butuni. Sebab kata Butuni muncul setelah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan. (Bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles