Jumat, Desember 27, 2024

Jaksa Jawab Eksepsi Habib Rizieq: Kutip Hadis Nabi hingga Protes Disebut Dungu

SATULIS.COM, JAKARTA – PN Jakarta Timur kembali menggelar persidangan kasus kerumunan dengan terdakwa Habib Rizieq Syihab pada Selasa (30/3). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi atau nota keberatan Habib Rizieq dan kuasa hukumnya.

Habib Rizieq hadir di ruangan sidang PN Jakarta Timur mengenakan pakaian serba putih lengkap dengan sorban.

Selain itu, terlihat jajaran kuasa hukum dan JPU yang hadir di ruangan sidang. Sidang dimulai dan dibuka oleh Hakim Suparman Nyompa sekitar pukul 09.40 WIB.

“Majelis hakim Yang Mulia, dalam tanggapan eksepsi dari penuntut umum tidak kami pisah dalam arti satu berkas tetapi isinya menanggapi eksepsi terdakwa dalam halaman kurang lebih 7-8 lembar lalu kami lanjut tanggapan eksepsi kuasa hukum,” kata perwakilan JPU.

Tanggapan JPU itu dibacakan secara bergantian oleh para jaksa yang hadir di ruangan sidang. Majelis hakim juga sudah mendapatkan salinan atas tanggapan JPU.

Jaksa Anggap Rizieq Tak Tepat Bandingkan Petamburan dengan Kerumunan Jokowi

JPU menjawab keberatan Habib Rizieq yang membandingkan proses hukum kasus kerumunan di Petamburan dengan kerumunan yang dilakukan tokoh nasional, artis hingga Presiden Jokowi.

Sebelumnya dalam eksepsi, Habib Rizieq menilai kepolisian dan kejaksaan begitu sigap melakukan kriminalisasi terhadap kasus kerumunan di Petamburan pada 14 November 2020.

Namun kesigapan tersebut, kata Habib Rizieq, tak terlihat dalam kasus kerumunan lainnya seperti Gibran di Pilwalkot Solo, Ahok dan Raffi Ahmad saat menghadiri acara ulang tahun, Moeldoko saat KLB Demokrat, hingga Jokowi saat kunker di Maumere, NTT.

Jaksa menilai pernyataan Habib Rizieq tidak tepat. Sebab menurut jaksa, Habib Rizieq hanya membandingkannya dengan kasus kerumunan saat Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan.

“Eksepsi Habib Rizieq menganggap dakwaan jaksa penuntut umum penuh dengan fitnah dan keji terhadap Terdakwa dan sahabat-sahabat Terdakwa dengan membanding-bandingkan kerumunan ribuan orang yang melanggar protokol kesehatan yang dilakukan tokoh nasional, artis, pejabat negara, termasuk presiden. Akan tetapi Terdakwa menganggap Kepolisian dan Kejaksaan begitu sigap penuh semangat melakukan kriminalisasi pada kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pernyataan Terdakwa tersebut tidaklah tepat dan hanya menampilkan kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW,” jelas jaksa.

“Padahal selain kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bersamaan juga Terdakwa menyelenggarakan pernikahan anaknya yang kurang lebih dihadiri 5 ribu umat dan kegiatan sebelumnya pun sudah menyelenggarakan peresmian peletakan batu pertama Markaz Syariah di Pondok Pesantren milik Terdakwa di Megamendung, Bogor, yang dihadiri 3 ribu orang,” lanjut jaksa.

Jaksa menyayangkan eksepsi Habib Rizieq yang menganggap dakwaan merupakan fitnah.

Habib Rizieq Tak Perlu Mengkambinghitamkan Mahfud soal Kerumunan Bandara

JPU juga menjawab nota keberatan Habib Rizieq Syihab yang menilai Menko Polhukam, Mahfud MD, sebagai penyebab kerumunan di Bandara Soekarno Hatta pada 10 November 2020.

Habib Rizieq kala itu baru tiba dari Arab Saudi. Habib Rizieq menilai membeludaknya massa di Bandara Soetta karena Mahfud MD memperbolehkan siapa pun menjemputnya.

Namun menurut jaksa, Habib Rizieq tak perlu mengkambinghitamkan Mahfud MD atas kerumunan di Bandara Soetta. Sebab Habib Rizieq dinilai mengetahui dampak kedatangannya dari Arab Saudi pasti akan menimbulkan kerumunan.

Terlebih menurut jaksa, Habib Rizieq justru menimbulkan kerumunan di tempat-tempat lain seperti Petamburan dan Megamendung.

Baca Juga :  Putusan MK: Leasing Tak Boleh Lakukan Penarikan Sepihak, Harus lewat Pengadilan

“Seharusnya sebagai yang memahami dampak dari kerumunan tidaklah perlu kita mengkambinghitamkan Menko Polhukam (Mahfud MD-red) sebagai penghasut atas kerumunan dimaksud,” kata jaksa saat membaca tanggapan di ruang sidang PN Jaktim, Selasa (30/3).

“Justru atas kedatangan Terdakwa mengakibatkan kerumunan luar biasa baik di Bandara dan kegiatan-kegiatan Terdakwa di beberapa tempat,” lanjut jaksa.

Selain itu, kata jaksa, argumen Habib Rizieq yang menyalahkan Mahfud MD tidak relevan terhadap dakwaan kerumunan di Petamburan.

“Terdakwa menyebut Menko Polhukam Mahfud MD yang mengumumkan langsung agar massa menjemput Terdakwa di Bandara. Kalimat-kalimat tersebut tidak ada relevansinya dengan kerumunan yang ditimbulkan atas kedatangan terdakwa,” ucap jaksa.

Jaksa Kutip Hadis Nabi Muhammad SAW

Jaksa menilai beberapa poin dalam nota keberatan merupakan argumen dari Habib Rizieq dan tak terkait dengan ruang lingkup nota keberatan.

“Nota keberatan eksepsi terdakwa Habib Rizieq Syihab atas dakwaan penuntut umum dimulai dari hal 1 sampai 3 bukanlah ruang lingkup eksepsi sebagaimana dikehendaki pasal 156 KUHP,” kata jaksa.

“Keberatan Terdakwa dimaksud bukanlah bagian dari dalil hukum yang berlaku, melainkan bersifat argumen Terdakwa menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran, dan hadis Rasulullah SAW, yang tidak jadi padanan penerapan pidana umum di Indonesia,” sambungnya.

Kala menanggapi eksepsi, jaksa mengutip kisah Nabi Muhammad SAW dari hadis yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari & Muslim.

“Jaksa terketuk hati, meminjam sebagai kutipan, di saat Rasul mengumpulkan para sahabat dan bersabda yang artinya sesungguhnya sudah binasa umat sebelum kamu lantaran jika di antara mereka ada seorang atau yang dianggap mulia atau terhormat mencuri atau dibiarkan, tapi jika ada seorang lemah atau rakyat biasa mencuri ditegakkan hukum, demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya,” kata jaksa.

Dari sabda Rasul tersebut, kata JPU, memperlihatkan tak ada perbedaan perlakuan hukum baik terhadap siapa pun. Apabila seseorang bersalah dan melanggar hukum, tetap harus diadili sebagaimana mestinya.

“Dari sabda Rasulullah, JPU memaknai siapa pun yang bersalah hukum tetap ditegakkan,” kata jaksa.

“Dengan menegakan nilai-nilai keadilan sebagaimana suri tauladan Rasulullah, sekalipun Fatimah putri dan juga zuriah keturunan langsung dari Muhammad SAW, tetap diberlakukan dengan menghukumnya,” tutur jaksa.

Jaksa Jawab soal Diminta Habib Rizieq Tobat agar Tak Kena Azab Allah

Jaksa merespons ucapan Habib Rizieq yang meminta kepolisian dan kejaksaan bertobat agar tidak kena azab Allah SWT. Menurut jaksa, ucapan Habib Rizieq tak perlu dipertontonkan oleh seseorang yang memahami etika.

“Tidak semestinya ada kata-kata pada akhir eksepsi berbunyi ‘Kepolisian dan Kejaksaan sebaiknya bertobat sebelum kena azab Allah SWT’. Inilah contoh kata-kata yang tidak perlu dipertontonkan sebagai seorang yang paham tentang etika,” ujar jaksa.

Menurut jaksa, pernyataan Habib Rizieq yang menyebut Kepolisian dan Kejaksaan menganggap undangan Maulid Nabi SAW sebagai sebuah hasutan, merupakan sebuah kesimpulan tidak berdasar.

“Terdakwa mendiskreditkan Kepolisian dan Kejaksaan dengan mengatakan telah melakukan pemufakatan jahat dengan menyamakan undangan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah hasutan melakukan kejahatan dan melupakan logika menyesatkan,” ucapnya.

Jaksa Sebut Habib Rizieq Berlebebihan soal Kriminalisasi Maulid

Jaksa menjawab tudingan Habib Rizieq yang menilai kasusnya merupakan kriminalisasi terhadap kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Menurut jaksa, eksepsi Habib Rizieq terkait hal itu tidak tepat.

Baca Juga :  Korban Pengeroyokan Sekelompok Jaksa di THM Lapor Polisi

Jaksa menilai Habib Rizieq dalam eksepsinya hanya menonjolkan soal Maulid Nabi. Padahal ada kegiatan lain yang dilakukan saat di Petamburan.

“Padahal, selain kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bersamaan juga Terdakwa menyelenggarakan pernikahan anaknya yang dihadiri kurang lebih 5 ribu orang umat dan kegiatan sebelumnya pun juga telah menyelenggarakan peresmian peletakan batu pertama markaz syariah di pondok pesantren milik terdakwa di Megamendung Kabupaten Bogor yang dihadiri 3 ribu orang,” kata jaksa.

Habib Rizieq dinilai telah mendiskreditkan polisi dan jaksa. Sebab, Habib Rizieq menilai aparat melakukan pemufakatan jahat dengan menyamakan undangan Maulid Nabi sebagai hasutan.

Hal ini merujuk pernyataan Habib Rizieq saat menghadiri peringatan Maulid Nabi di Tebet pada 13 November 2020. Namun menurut jaksa, Habib Rizieq justru melakukan penghasutan yang mengundang masyarakat menghadiri Maulid Nabi sekaligus pernikahan putrinya di Petamburan.

“Eksepsi Terdakwa tersebut terlalu berlebihan dan mendramatisir suatu keadaan yang bertujuan yang menciptakan opini dengan terdakwa bersumpah manusia tidak beragama atau anti agama yang memfitnah undangan ibadah sebagai hasutan kejahatan,” papar jaksa.

Jaksa menyayangkan bahwa Habib Rizieq menganggap dakwaan berisi fitnah. Padahal, dari sekian kata atau puluhan lembar dakwaan JPU, tidak ada satu huruf atau kata-kata yang dinilai bertuliskan fitnah.

Jaksa Ungkap Alasan Tak Masuk Akal soal Operasi Intelijen

JPU membantah tudingan jika perkara-perkara yang didakwakan kepada Habib Rizieq merupakan operasi intelijen berskala besar.

Pernyataan tersebut, kata JPU, merupakan bentuk tuduhan semata. Selain itu, merupakan bentuk luapan emosi dari pihak kuasa hukum Habib Rizieq.

“Pernyataan penasihat hukum yang menuduh sembarangan mengenai politik serta merupakan operasi intelijen berskala besar hanya merupakan luapan emosi serta kegelisahan dari penasihat hukum serta menunjukkan bahwa penasihat hukum kekurangan dalil hukum untuk melengkapi eksepsinya sebagaimana melengkapi pasal 156 KUHAP,” kata JPU.

Jaksa Protes Disebut Dungu dan Pandir oleh Habib Rizieq

JPU buka suara terkait eksepsi dari Habib Rizieq Syihab terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung. Salah satunya terkait isi eksepsi soal kata-kata yang digunakan oleh Habib Rizieq, mulai dari dungu hingga pandir.

JPU menyebut bahwa arti kata pandir dalam kamus umum Bahasa Indonesia yakni bodoh dan bebal. Sementara, kata dungu artinya sangat tumpul otaknya, tidak mengerti, dan bodoh.

“Tidaklah seharusnya kata-kata yang tidak terdidik ini diwujudkan, apalagi ditempelkan ke jaksa penuntut umum,” kata JPU.

“Sangatlah naif kalau jaksa penuntut umum yang menyidangkan perkara terdakwa dkk dikatakan orang bodoh, bebal, tumpul otaknya dan tidak mengerti. Kami jaksa penuntut umum yang menyidangkan terdakwa adalah orang-orang yang intelektual, yang terdidik dengan berpredikat rata-rata strata 2 dan berpengalaman puluhan tahun di bidangnya,” sambungnya.

Atas dasar itu, meminta hal ini tidak diulang Habib Rizieq. Jaksa meminta Habib Rizieq tak justifikasi dan meremehkan orang lain.

“Sifat demikian menunjukkan akhlak dan moral yang tidak baik,” ucapnya.

Selain itu, JPU juga menilai terdapat bahasa ‘pinggiran’ yang digunakan oleh Habib Rizieq dalam eksepsinya. Ia mencontohkan ada satu kalimat di mana Habib Rizieq menyebut JPU dianggap mengalami keterbelakangan intelektual.

Menurut jaksa, bahasa yang digunakan oleh Habib Rizieq sudah keluar dari kata-kata yang seharusnya digunakan oleh seorang panutan.

“Seorang terdakwa yang disebut-sebut sebagai panutan menggunakan kata-kata di luar sifat seorang panutan. Tapi lebih mendominasi pada pikiran emosional dan tidak dewasa karena menggunakan kalimat yang menjijikan hanyalah diberikan kepada sesuatu yang jorok. Demikian juga urat malu sudah putus, maka dituduhkan orang yang dituduhkan sudah tidak normal,” kata JPU.

Baca Juga :  Kembali ke Kamar Hotel Lihat Kekasih Sudah bersama Pria Lain, Cabut Badik...

“Kata-kata tersebut tidak perlu menjadi bahan eksepsi namun seharusnya berwatak seorang intelektual dengan menyanggah dalih-dalih eksepsi yang berkualitas agar dapat dikategorikan sebagai eksepsi diterima akal sehat,” tutur JPU.

Jaksa Ungkap Alasan FPI Diseret di Kasus Kerumunan

Jaksa menyatakan, alasan menyebut FPI dalam perkara kerumunan di Petamburan, lantaran saat kejadian Habib Rizieq masih menjadi Imam Besar ormas tersebut. Sedangkan pembubaran FPI oleh pemerintah baru dilakukan pada 30 Desember 2020.

“Terdakwa menyatakan bersama 5 Terdakwa lain (berkas terpisah) diadili sebagai individu, bukan sebagai pengurus ormas. Ternyata Terdakwa bersama 5 Terdakwa lain saat kegiatan masih mengatasnamakan Imam Besar FPI dan pengurus anggota FPI, demikian juga halnya terkait surat-surat yang diterbitkan selalu berlogo FPI,” ujar jaksa di ruang sidang PN Jaktim, Selasa (30/3).

Jaksa pun turut menjawab keberatan Habib Rizieq mengenai penyebutan FPI dalam dakwaan kelima sebagai upaya politis sekaligus mengkriminalisasi Maulid Nabi Muhammad SAW.

“Keberatan itu hanya luapan emosi Terdakwa dan di luar ruang lingkup eksepsi. Mengingat jaksa penuntut umum bukanlah lembaga politik yang berwenang mempolitisir suatu hal dan bukan upaya jahat untuk mendramatisir, apalagi mengkriminalisasi Maulid Nabi Muhammad SAW,” ucap jaksa.

Begitu pula mengenai pernyataan Habib Rizieq mengenai pembubaran FPI melalui SKB 6 pejabat setingkat menteri sangat dipaksakan. Jaksa menganggap keberatan tersebut hanyalah curahan hati Habib Rizieq yang tak ada kaitannya dengan perkara kerumunan.

Pembayaran Denda Rp 50 Juta Tak Hapus Pidana Kerumunan Habib Rizieq

Terkahir, JPU menanggapi argumen pengacara Habib Rizieq Syihab mengenai pembayaran denda Rp 50 juta terkait kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November 2020.

Pengacara menilai kasus kerumunan di Petamburan seharusnya sudah selesai ketika Habib Rizieq dan FPI membayar denda senilai Rp 50 juta kepada Pemprov DKI. Sehingga pengacara menganggap dakwaan jaksa ne bis in idem. Ne bis in idem merupakan asas yang mengatur seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama.

Menanggapi argumen tersebut, jaksa menyatakan pembayaran denda sama sekali tak menghapus perbuatan pidana Habib Rizieq yang menghasut kerumunan di Petamburan.

“Bahwa penuntut umum tidak melihat adanya korelasi antara pembayaran sanksi denda administratif sebesar Rp 50 juta dengan hapusnya perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa,” kata jaksa.

“Bahwa penasihat hukum tidak melihat secara jernih dan menganggap pembayaran denda Rp 50 juta kepada Satpol PP DKI Jakarta dianggap sudah selesai permasalahan. Akan tetapi pidana denda adalah hukuman pembayaran sejumlah uang, atau lainnya karena melanggar ketentuan pidana yang dijatuhkan pengadilan,” lanjut jaksa.

Jaksa pun menjelaskan apa yang dimaksud dengan ne bis in idem dalam ketentuan Pasal 76 KUHP. Jaksa menyatakan ne bis in idem artinya tidak dapat dilakukan penuntutan untuk kedua kalinya atas tindak pidana yang sama.

Dalam kasus kerumunan di Petamburan, kata jaksa, pembayaran denda tak melalui proses penyidikan hingga pengadilan, sehingga kasus tersebut belum pernah diadili. (adm)

Sumber : Kumparan.Com


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

IKLAN

Latest Articles